Prolog

5.3K 214 13
                                    

Assalamu'alaikum, Gengs!

Terima kasih kepada AT Press Solo yang udah memberi peluang untuk saya mengikuti #Gocengllenge.

Jadi, in syaa Allah Diji akan rajin update sebanyak 2 kali dalam seminggu. Yes, setiap hari Senin dan Kamis! Tandain di kalender kalian, ya.

Jangan lupa jatuh cinta dengan kisah dari Nayara, ya! Selamat membaca❤❤

》o0o《

》o0o《

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

》o0o《

Acara perpisahan yang diadakan sekolah sudah berakhir dari sore tadi, tetapi malam ini aku harus mengendap-ngendap masuk ke rumah. Jika ketahuan pulang malam, bisa habis aku. Sembari melangkah dengan penuh hati-hati, kulirik di sekitar, cukup gelap. Sesekali mengumpat mengingat ajakan Patricia ke kafe.

Saat pintu kamar orang tuaku terbuka, dengan cepat kusembunyikan tubuh ini di balik guci besar. Kuintip langkah sempoyongan bunda yang berjalan ke arah kolam renang. Ah, dia melakukan itu lagi.

Duduk di tepian kolam renang seraya menatap langit kelabu tanpa taburan bintang. Malam ini tak sesunyi malam orang-orang yang dapat terlelap di kehangatan selimut dan keempukan ranjang. Bunda menangis, terasa rintihan itu memukul batinku. Namun, yang kulakukan hanya dapat terduduk lemas di lantai keramik dan memperhatikannya dari kejauhan.

Tangis itu semakin terdengar jelas, membuatku enggan lebih lama terdiam. Mendekat dan kupeluk tubuh renta itu dari belakang. Ada getaran setiap kali tangisnya memuncak.

"Sudah, Bunda. Maafin Naya," ucapku lirih.

Terasa sentuhan tangan yang diliputi garis kerutan memaksa pelukanku berakhir.

"Kamu tidur, sekarang!"

"Aku boleh nemenin Bunda, ya?" pintaku.

Wanita itu memang tak pernah melihatku dengan cara seorang ibu melihat anaknya, tatapan sinis itu selalu saja menghujam hingga mataku enggan untuk terarah padanya. Namun, aku tau setiap ketegaran yang ia perlihatkan hanya kebohongan semata.

"Jangan ganggu Bunda," ujarnya lagi.

Jika bunda sudah meminta hingga dua kali, artinya aku harus menuruti. Tubuhku bisa menjadi bukti jika melanggar apa yang ia katakan.

Seraya mengangguk, langkahku mulai menjauh. Sepi tanpa tangis yang terdengar. Tak apa ia marah, tetapi tangisnya berhenti untuk malam ini. Juga, mungkin ... tangis terakhir yang terdengar.

Kubalikkan badanku sembari berteriak, "Bunda!"

Bunda melompat ke kolam renang, padahal sendirinya tak dapat mengendalikan air yang cukup banyak. Memori itu terulang lagi, terulur panjang hingga sampai ke titik di mana aku hanya dapat terdiam tanpa melakukan apa pun.

Kali kedua aku menyaksikan hal yang sama.

"Ayah! Bunda ... Bunda, Ayah tolong!"

Kuharap ini bukan mimpi buruk, bunda melakukan hal di luar akal sehat, sedang aku tak dapat berbuat apa-apa. Ketakutanku pada kejadian beberapa tahun silam membuat bunda menyusul Kak Rega di sana.

"Bunda gak sayang sama aku? Bunda cuma sayang Kak Rega?"

Kuremas rok biru yang masih kukenakan. Lamunan ini pecah saat mataku menangkap ayah yang berusaha menyelamatkan bunda.

"Naya, kamu gak dengar Ayah ngomong? Cepet telepon ambulans."

Tanpa menjawab dengan suara, aku mengangguk beberapa kali dan mengambil ponsel dari saku. Tanganku masih bergetar hingga menuliskan nomor ambulans saja memerlukan waktu beberapa menit.

"Ayah, Bunda gak apa-apa, kan?"

Hanya gelengan yang kudapat, wajah itu menunduk, enggan memperlihatkan betapa rapuhnya ia sekarang.

Aku pasti mimpi buruk. Bunda hanya tidur karena lelah bermain di kolam renang.

"Bunda mau nemenin Kak Rega, sekarang biar Ayah yang nemenin kamu," ucap Ayah sembari tersenyum dengan bekas air mata di pipi.

Rintihan bunda terngiang di kepala, hingga semua terlihat buram, dan gelap.

Bunda, maafkan Nayara.

Bunda, maafkan Nayara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang