"ADA YANG MAU BUNUH DIRI!"
Setelah teriakan itu menggelegar, semua orang di sekitar mulai berlari turun ke lapangan. Beberapa sampai menabrak bahuku yang tak kunjung bergerak dari tempat. Setelah di sekitar tak tampak orang-orang, aku maju melihat ke bawah, banyak wajah yang terkesima melihat apa yang ada di atap gedung sekolah ini. Jelas, kudongakkan kepala hingga melihat seorang perempuan berdiri di ujung gedung. Wajahnya berkeringat bercampur air mata yang begitu deras mengalir.
Kini kakiku tak diam seperti tadi, langkah lebih cepat menaiki tangga tuk menuju tempat perempuan itu. Jam pulang sekolah, seharusnya guru-guru masih di sini untuk memastikan muridnya baik-baik saja. Sayangnya, tidak seperti yang diharapkan.
Kubuka pintu berkarat itu, melangkah pelan sembari mengatur napas yang masih tarsengal-sengal. Bukan karena lari dari lantai dua ke atas, tetapi melihat posisi berdiri perempuan itu yang makin dekat dengan jurang kematian. Terik matahari pun seperti sengaja membuat sulit tuk bernapas.
"Lo nyari sensasi biar followers lo naik? Gak gini sih caranya," ucapku.
Ia berbalik ke arahku. Mata yang dilapisi lensa berwarna biru terang itu seakan membungkam mulut ini agar tak bicara sembarangan.
"Gue ... salah, ya?" Dengan rasa gugup yang kututupi, langkah ini lebih dekat. "Atau lu sebenarnya lagi kesurupan? Ya Allah, lu suka ngayal kali, ya?"
Dia turun dari tempat ia berdiri. Tanpa berbalik menatapku, ia menunduk hingga terdengar suara isakan yang ia tahan.
"Gue juga pernah berada di titik paling rapuh sampai pengin bunuh diri, sama kayak lo. Gue bingung aja cara bunuh diri yang bagus itu gimana, nusuk diri pakai pisau, gue takut darah, minum racun, gue jijik, mau lompat dari gedung kayak lo, gue takut ketinggian. Jadi, gue batalin deh."
Dia terlihat bangkit dan berjalan mendekat. Saat sudah berdiri di hadapanku, menampar pipi ini pelan lalu duduk di meja. "Lo Nayara, 'kan? Dikenal punya kehidupan beruntung, makanya sok tau."
Mengusap pipi ini lalu terkekeh-kekeh geli seraya naik ke atas meja, tepat di sebelah perempuan itu. "Iya dong, karena memperlihatkan betapa menderitanya menjalani hidup itu lebih menjijikkan daripada pura-pura bahagia. Pengin banget, ya, dikasihanin satu sekolah?" ucapku sembari menatapnya sekilas.
"Maksud lo?"
"Kalau lo mati hari ini karena bunuh diri, akan banyak orang yang kasihanin lo, tapi dua tiga hari setelahnya mereka bakal lupa. Kenapa? Mereka cuma kasihan, bukan sedih karena kehilangan. Emang lo siapa?"
"Sialan!" umpatnya sembari bangkit dari duduknya. Berjalan dengan langkah buru-buru dan meninggalkanku. Sebelum itu, ia sempat membanting pintu yang sudah berkarat hingga ia tak terlihat lagi.
"Bego," gumamku.
Walau sudah tak terlihat, tetapi di balik pintu itu, suara-suara yang terdengar khawatir menyerbu. Aku melangkah ke tempat suara itu berasal. Benar saja, perempuan itu sedang dicegat dengan beberapa siswi untuk diwawancari. Untungnya, masih ada ucapan 'sabar' dari mereka, meski lebih banyak pertanyaan lain yang menutupi.
Sebelum melewati kerumunan tersebut, kulirik sebentar perempuan itu lalu berkata, "See, yang peduli cuma beberapa, sisanya? Kepo."
"Ish, Nay jahat banget sih! Kasian tau Vivi-nya, dia pasti masih syok," tegur Patricia. Ah, sahabatku itu sejak kapan menjadi sosok sok peduli?
"Gue ngomong apa adanya, lagian lu ngapain sih ke sini?"
"Kasianlah, Vivi pasti butuh support!"
Aku memandang mereka satu per satu. "Support? Cara support orang dengan tanyain apa penyebab dia pengin bunuh diri, emang gitu, ya? Gue baru tau. Alhamdulillah, ya, gue dapat ilmu baru."
Terlihat wajah Patricia yang sudah menahan emosi, untungnya Dita selalu berada di samping perempuan itu. Ibarat Patricia adalah rumah yang sumpek, Dita adalah penyejuknya. Walau begitu, selalu ada ide gila yang Dita tawarkan. Ah, bukan menawar, tetapi memaksa.
Contohnya seperti ini.
"Ah, daripada debat pakai emosi sampe kepanasan, mending ke kantin, yuk! Nay yang teraktir!"
Dari situlah awal kami duduk di meja tengah kantin ditemani coca cola yang sudah dimodifikasi hingga harganya terbanting murah. Dari lima ribu per botol, menjadi tiga ribu per gelas. Caranya? Coca cola-nya dikit, es batunya yang banyak.
Jika pada hari-hari biasa, di meja ini hanya diisi olehku, Patricia, dan Dita, kali ini ada Vivi si perempuan yang mencoba bunuh diri. Walau beberapa kali disenggol untuk ikut nimburng saat ngobrol, ia tetap diam dengan tatapan kosong. Antara sok tau atau memang benar, sepertinya ia tak mendengarkan apa yang kami bahas.
"Lo kalau emang udah gak tahan hidup, kenapa gak mati aja dari tadi?"
Kulihat Patricia membulatkan matanya ke arahku. Lumayan tajam, punya modallah jadi pemeran antagonis di sinetron tema pelakor.
"Lo gak ada kasiannya, ya, sama Vivi?" Ini bukan kali pertama Patricia bersikap seperti ini. Banyak hal ia langsung marah karena apa yang kuucapkan memang seharusnya terucap tanpa harus ditutup-tutupi.
Kuangkat tubuh ini bangkit dan menatap mereka satu per satu. Tatapanku jatuh pada Vivi yang terlihat ketakutan, berbanding terbalik dari apa yang ia lakukan di atap gedung tadi.
"Lo tau? Kalau gue gak khawatir, gue gak mungkin nyusul dia duluan ke atas, paling gue bakal ikut sama kalian ke lapangan dan fotoin Vivi terjun bebas. Gitu? Vi, kalau lo mau bersikap bego, sendiri aja, jangan dipamerin. Lo kira orang-orang di sekitar lo bakal peduli?"
Ucapanku terhenti saat Vivi menangis sesegukan, Patricia dan Dita mencoba menenangkan perempuan itu. Untungnya, suasana kantin sudah sepi di jam pulang sekolah, menyisakan beberapa yang mengikuti ekstrakurikuler.
"Nay, lo keterlaluan!" sahut Patricia sembari memapah Vivi menjauh dariku.
Langkah mereka semakin cepat hingga terlihat kecil di mata ini. Kurasa yang kulakukan tak salah, semua ini untuk menyadarkan dia, kan?
"Nay, lo liat Vivi?"
Aku mengangguk saat seorang siswi tiba-tiba muncul di sebelahku.
"Parah tau, gak, dia buat sekolah kita viral. Besok paling bakal disidang di ruang BK!"
"Kok lo ngomong gitu?" tanyaku.
"Semua pada bilang gitu kok, kesel tau gak sih liat ratu drama kayak dia. Kalau mau mati kok setengah-setengah. Keliatan banget kalau cuma pengin cari sensasi."
Aku membalas ucapan perempuan berambut pendek sebahu itu dengan anggukan. Bukan karena setuju, tetapi untuk menghentikan opini yang semakin menjalar ke mana-mana.
"Ya udah, gue duluan, ya!" seruku. Namun, baru beberapa langkah, perempuan itu memanggilku kembali.
"Nay!" Tanpa berbalik, hanya menghentikan langkah. "Lo harus hati-hati sama dia," ucapnya berhasil membuat tubuhku berbalik sepenuhnya.
"Makasih, tapi gue yakin dia gak perlu dikhawatirin. Dia cuma butuh kedamaian, kayak nyokap gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayara (TELAH TERBIT)
Teen FictionTAMAT DAN PART MASIH LENGKAP❤❤ Nayara Grizelle. Kata bunda, arti namaku adalah Pemberi Kedamaian dan Wanita Pejuang yang Cerdas. Beliau pikir, dengan hadirku di dunia ini, ia tak akan lagi merasa sesak, juga tak lagi menjatuhkan air mata. Sayangnya...