Nayara - 15

952 75 0
                                    

Hari yang cukup berat. Walau, ada rasa aneh yang menyergap pikiran ini. Dia, Vivi. Perempuan itu terlihat biasa saja, padahal kondisinya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bahkan, tak ada satu pun yang peka dengannya.

Aku menjatuhkan tubuh ini di atas ranjang. Mengamati langit-langit kamar yang begitu polos. Hanya satu lampu di atas sana yang menghiasi. Terdiam dalan kekosongan, tubuhku ikut bergetar saat getaran pada benda pipih mengejutkan.

Nomor tak dikenal dengan satu buah pesan :

"Dia bukan laki-laki baik, jauhi atau kamu menyesal."

Terkejut, lalu dengan cepat jemari ini menekan pilihan menghubungi si nomor tak dikenal itu. Sayangnya, sudah tak aktif. Apa salah sambung? Namun, kenapa isi pesannya sungguh mengejutkan.

Terdiam cukup lama hingga bel rumahku berbunyi. Selama ini, aku tak pernah mempunyai tamu siapa pun. Dulu, paling Patricia atau Dita. Sayangnya, kini semua itu berubah.

Aku menuruni tangga menuju lantai bawah. Saat akan membuka pintu, tiba-tiba teringat lagi dengan pesan singkat yang cukup aneh. Entah, ini pertama kaliku takut di dalan rumah sendiri. Saat mengintip di jendela, ternyata Rega. Apa dia laki-laki berbahaya itu?

Perlahan, wujudnya terlihat saat kubuku pintu ini. Laki-laki itu terlihat sesak napas, kembali ia mengatur napas sembari berpegangan pada pergelangan tanganku.

Kukerutkan dahiku melihatnya yang terlihat ngos-ngosan. "Kenapa, sih?" tanyaku.

"Lo baik-baik aja?" tanya Rega.

Aku mengangguk, bingung. Lalu, kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Sepi, tak ada siapa pun. Awalnya, kupikir dia tengah dikejar orang.

"Lo gak nawarin gue masuk?" tanya Rega.

Pertanyaan itu membuatku mengingat pesan yang baru saja kudapatkan. Aku menggeleng, menolak ia akan masuk. Lebih baik di sini saja. Depan pintu.

Dia mendengkus kesal, kini napasnya sudah kembali normal.

"Lo baca grup angakatan, gak?" tanya Rega.

Kembali, diri ini menggeleng. Pun, hari ini terasa lelah untuk mengecek ponsel. Kecuali pesan misterius tadi.

Rega mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Cukup kasar hingga kulit putihnya memerah. "Jangan dibaca!" perintahnya.

"Kenapa?" tanyaku.

Terdiam sejenak, lalu menggenggam kedua tangan ini. "Gue mau lo pikirin masalah lo aja, jangan orang lain."

"Gue gak ngerti."

Saat Rega akan melanjutkan omongannya, seseorang berlari melewati pagar rumahku, begitu cepat hingga jarak semakin dekat.

Vivi, perempuan itu memelukku dengan tangis yang begitu kencang.

"Gue takut, Nay," ucapnya.

Membalas pelukan perempuan itu tanpa tau apa yang sedang terjadi. Kulirik ke arah Rega yang menggelengkan kepalanya frustrasi.

****

Kini, aku, Vivi, dan tentu saja Rega tengah duduk di ruang tamu dalam keadaan hening. Tak ada lagi tangis, tetapi semakin membuatku penasaran. Menunggu Vivi untuk bercerita lebih dulu ternyata membuang waktu, perempuan itu tak berniat untuk mengeluarkan suara.

Saat akan beranjak ke dapur untuk mengambil minuman, Vivi menarik pergelangan tangan ini.

"Gue ... boleh nginap di sini?"

"GAK!"

Penolakan itu bukan dariku, melainkan dari Rega yang sedari tadi menatap Vivi dengan tatapan tajam seakan ingin menerkam. Terkejut, tentu saja. Bahkan, kulihat ekspresi Vivi yang kembali akan menangis. Ah, dasar Rega! Laki-laki itu tak tau cara bersikap lembut pada perempuan.

"Emang ini rumah lo?" tanyaku.

Rega tak menjawab, ia membuang wajahnya seakan kesal dengan tanggapan ini.

Aku duduk di sebelah Vivi sembari menggenggam tangannya dengan erat. "Ceritain dulu masalah lo apa," ujarku.

Vivi mengembuskan napas secara kasar. "Gue pikir satu sekolah udah tau, Nay."

"Hah?"

"Beritanya udah viral di grup angkatan. Mereka tau kalau gue hamil, Nay."

"Hah?" Kali ini suaraku agak sedikit tinggi. Bagaimana tidak, privasi seseorang malah menjadi konsumsi umum. Mengesalkan memang.

Rega yang tadinya diam, akhirnya ikut berkomentar, "Itu masalah lo. Kenapa sih harus libatin Nay? Nay juga pasti punya masalah. Setiap manusia punya masalah, jadi selesein masalah lo sendiri tanpa ngebebanin orang lain."

Kalimat Rega cukup panjang hingga membuatku tertarik emosi. Rega benar-benar laki-laki yang tak punya perasaan. Teganya ia pada Vivi yang sedang mengalami masalah.

"Rega, diam atau lo keluar," perintahku. Kali ini rasanya kusudah tak tahan.

"Nay, gue cuma kesel liat lo yang selalu pengin jadi malaikat buat temen-temen lo. Emang mereka pernah berbuat apa, sih, buat lo? Mereka di hidup lo cuma parasit," ujar Rega.

"Termasuk lo! Lo juga parasit. Sekarang, lo keluar dari rumah gue!" teriakky penuh penekanan.

Rega menggeleng. "Dia hamil? Itu masalah? Oke, kalau dia hamik karena diperkosa, gue bakal turut berduka cita, tapi ... kalau dia hamil karena kelakuan dia sendiri, haha! Lo rugi, Nay!"

Terlihat saat Rega mengatakan itu, emosi keluar dengan sangat menakutkan. Bahkan, uratan di kepalanya pun terlihat. Aku jadi takut.

"Nay ...," panggil Vivi dengan wajah yang hampir menangis, "lo percaya sama gue, 'kan?"

Aku mengangguk. Lalu, Rega keluar dari rumahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tahu, Rega pasti kecewa. Namun, dia tetap salah saat menggunakan amarah pada kondisi saat ini.

"Kenapa bisa tersebar ke grup angkatan?" tanyaku.

Vivi menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa?" tanyaku sekali lagi.

"Martia, dia yang nyebarin, aku cerita sama dia kemarin," ucapnya.

Embusan napasku semakin kencang. Ingin berteriak bodoh di hadapan Vivi saar ini. Andai tak ingat jika perempuan ini dalam keadaan terpuruk, kutampar juga wajahnya agar sadar dengan tindakan bodoh itu.

Martia? Siapa sih yang gak tau ular busuk macam Martia? Terlihat polos, tetapi menyebalkan, dan sungguh, tak ada alasan bagiku untuk tidak membencinya.

"Kenapa lo cerita sama dia?"

Vivi menangis. "Gue ... gue cerita sama dia karena dia sahabat gue, Nay. Gue deket sama dia sebelum kenal sama lo."

Aku mengangguk. "Lo cerita sama dia karena lo nganggap dia sahabat lo? Terus, lo cerita sama gue karena gue apa buat lo?"

Vivi mendongak melihatku. Wajahnya terlihat bingung untuk menjawab.

"Gak usah dijawab, gue udah tau jawabannya. Oke, gue kasih lo tumpangan di rumah ini atas dasar kemanusiaan, karena gue bukan siapa-siapa lo," jawabku.

Tangis Vivi semakin kencang lalu memelukku. "Maaf, Nay," ucapnya lirih.








Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang