Nayara - 17

955 78 2
                                    

"Nih," ucap Patricia sembari menyodorkan susu cokelat ke arahku, "lo lemes banget."

Rasanya sudah lama tidak mengalami hal seperti ini. Banyak hal yang membuat jarak di antara kami semakin terasa. Namun, pagi ini Patricia duduk di sebelahku sembari tersenyum. Hangat, tak ada tatapan sinis seperti saat terakhir ia berbicara padaku.

"Thanks," jawabku.

"Banyak pembodohan di sekitar kita tau, gak?"

Dalam keadaan meminum susu pemberiannya, aku menyahut dengan gumaman.

Patricia mengangguk. "Gue, lo, sama Dita udah sama-sama dari SMP, sekarang tiba-tiba kepisah karena hal yang sebenarnya bisa diomongin baik-baik. Iya, gak, Nay?"

Aku mengangguk berkali-kali walau masih fokus menikmati segarnya susu pemberian Patricia.

"Gue nyesel gak dengerin perjelasan lo dulu," ucap Patricia mampu membuatku berhenti memikmati susu ini dan beralih padanya, "gue juga ngerasa aneh. Vivi tiba-tiba muncul di hadapan kita, Martia, juga Syakira yang awalnya cuma lewat di depan mata."

Aku mengernyit tak mengerti. "Aneh?"

"Gue, gue ... denger pembicaraan Martia, Nay. Cuma gue takut, gue bukan lo yang berani," ujar Patricia.

Aku mengangguk. "Itu alasan lo datang sepagi ini? Buat ngomong sama gue tentang ini?"

Jeda sesaat. Suasana kelas masih sepi, belum ada tanda-tanda yang lain akan datang. Memang terlalu pagi, sih. Apalagi dengan cuaca pagi ini, terlalu mendukung selimut untuk tetap memeluk tubuh.

Tetap setia menunggu Patricia berbicara, tetapi perempuan itu masih terdiam.

"Lanjut aja, mumpung masih sepi," ucapku.

"Terakhir lo lihat Dita baik-baik aja, kapan, Nay?" tanya Patricia.

Lagi-lagi, aku mengernyit tak mengerti. "Maksud lo?"

"Lo sadar, kan? Dita berubah, ah! Gue telat nyadarnya. Pokoknya gue tau, lo pasti sadar, Dita berubah. Lo tau sendiri, kan, gimana Dita? Dia gak pernah kek gini sama lo, bahkan dia selalu jadi penengah di antara kita."

Benar, Dita yang paling berubah. Sebenarnya cukup menyakitkan saat dia mulai memberi jarak dengan sikap-sikap yang sungguj membuatku terkucil. Namun, aku harus terus berpikir positif padanya. Berteman dengan Dita maupun Patricia terbilang cukup lama, rasanya memang aneh.

"Terakhir di rumah sakit waktu Vivi ketabrak, tapi itu terakhir. Dia pulang karena sakit perut."

"Gue kira lo cerdas, Nay," sahut Patricia.

Aku meneguk ludah. "Kita lagi di rumah sakit, Dita izin pulang karena perutnya sakit. Astaga, kenapa gue baru nyadar?" seruku cukup keras, tetapi suara derasnya hujan di luar sana mampu menelan volume suara ini.

"Gue juga baru nyadar, Nay. Dia gak sakit perut, dia bohong. Semua pembohong, gue gak tau siapa yang jujur di antara kita. Bahkan, Vivi sekali pun. Gue gak yakin sama dia," ujar Patricia.

"Gue juga," jawabku sembari mengusap wajah dengan kedua tangan. Lalu, pandangan beralih pada beberapa siswa yang mulai memasuki kelas. Untungnya, orang-orang yang bersangkutan dalam topik pembicaraan ini belum datang.

"Mereka gak masuk kok, tenang aja," ucap Patricia seakan tau apa yang ada di pikiranku.

"Kok?"

Particia mengangguk. "Serius, gue gak suka loh semakin dekat sama Martia. Dia ngajarin ke jalan sesat."

"Kenapa? Ceritain semuanya ke gue."

Particia lagi-lagi mengangguk, dan kali ini ia semakin melihatku dengan intens. Tak lama, air matanya mengalir membasahi pipi. "Gue boleh peluk lo dulu, Nay?" katanya dengan suara yang mulai bergetar.

"Boleh," ucapku. Dengan cepat ia memelukku, sangat erat hingga kusulit untuk bernapas. Bahkan, tarikan napasnya mulai tak teratur. Sesegukan, dan kurasa seragamku mulai basah karena air mata.

"Lo kenapa, Pat?"

"Gue kangen sama lo, gue ngerasa berdosa."

Aku mengangguk. "Gue ngerti, udah jangan nangis lagi. Selama ini lo cuma salah paham, selebihnya lo gak salah apa-apa, Pat. Lo tetep sahabat gue."

Yang kuharapkan adalah ia berhenti untuk menangis, sayangnya ucapanku hanya membuat perempuan itu semakin sedih. Beberapa orang di dalam kelas ini sesekali melirik, walau tak ingin dibilang kepo hingga tak ingin ikut campur.

Rega memasuki kelas, kulihat ia hanya melirikku sesaat lalu melewati begitu saja dan duduk di bangkunya. Entahlah, apakah ia masih marah dengan apa yang terjadi semalam. Sungguh, aku tak berniat apa-apa.

Sembari menunggu Patricia menangis, kulirik Rega yang duduk di bangku belakang. Laki-laki itu terlihat mengembuskan napas secara kasar dan membuka halaman buku secara random.

"Pat, udah, ya," bujukku sembari mengelus rambut panjangnya, "nanti make up lo luntur, lho!"

Lumayan mudah sih, dia langsung melepas pelukannya dan mengambil cermin yang selalu kutaruh di dalam laci bangku. Ya, walaupun aku dikenal sebagai peringkat satu, aku bukanlah perempuan yang anti bercermin. Aku suka memandangi wajahku di saat sedih, senang, atau apa pun itu.

"Gila, ish! Gue kira beneran luntur lho!" sahutnya sembari menatap wajahnya di cermin, "gue udah pake make up waterproof, kalau luntur mah, gila aja!"

"Lo gak berubah tau, gak, Pat?" ujarku sembari terkekeh-kekeh.

"Udah ah, lo mau denger cerita gue, gak?"

Aku mengangguk.

"Kemarin, gue sama yang lain main ke rumah Martia. Ngajak Vivi juga, soalnya dia keliatan sedih gitu kata Martia, tapi sih menurut gue bukan sedih ya, tapi ketakutan malah. Ya udah, Vivi cerita sama kita-kita di sana soal masalah dia yang lagi hamil. Kita kaget, kan? Ya udah, cuma kasih support doang," ujar Patricia.

"Terus?"

"Setelah itu, Vivi balik duluan. Gue gak tau, ya, kenapa Martia punya niat mau nyebarin info ini ke grup angkatan! Gila, kan? Jahat banget. Terus di grup angkatan itu, dia malah bilang 'Ini emang udah kesebar kali, Nayara si anak orang kaya dan pinter itu yang duluan nyebari. Lo semua ketinggalan'."

"Loh? Kok malah gue, sih?"

Patricia mengangguk. "Ada yang lebih parah."

"Apa?"



Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang