Nayara - 2

2K 115 5
                                    

Orang tadi benar-benar membuatku muak, bukan hanya mengadu domba, secara tidak langsung, ia mempermainkan perasaan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Orang tadi benar-benar membuatku muak, bukan hanya mengadu domba, secara tidak langsung, ia mempermainkan perasaan ini. Teringat tentang bunda, pasti selalu membuatku terjun ke rasa yang paling kuhindari.

Koridor sudah sepi, bolehkah diri ini menunduk dan menjatuhkan  beberapa tetes yang sering kusembunyikan? Walaupun tak begitu mengenal Vivi, tetapi ada rasa kecewa yang hinggap pada diri ini. Seharusnya aku dapat mengerti apa yang ia rasa, bukannya menjatuhkan ia hingga terbentur dan menambah rasa perih untuknya.

"Yang mau bunuh diri siapa, yang nangis siapa. Lucu, ya," ucap seseorang yang kini berdiri di sampingku. Karena menunduk, hal pertama yang kulihat darinya adalah sepatu merah muda.

Saat melihat itu, semua siswa di sekolah ini sudah tau. Larangan memakai sepatu selain berwarna hitam, dia malah melanggar. Kak Rian, kakak kelas abstrak dengan penampilan yang sungguh tidak terduga.

Aku mendongak, laki-laki bertubuh tinggi dan bergigi kelinci yang selalu terpamerkan di saat dia tersenyum itu membuat dirinya menjadi salah satu idola di sekolah. Ini di luar dari penampilannya.

Memakai sepatu merah muda tentunya, jaket berwarna ungu, dan topi berwarna kuning bergambar kartun favoritku, Spongebob.

"Kok muka lu sok kaget gitu?" tanyanya.

"Emang kaget, Kak!"

Dia membulatkan matanya ke arahku. "Gak usah ngegas, dong! Beberapa daerah, gas udah lumayan langka. Harusnya lu bisa meminimalisir pemakaian," ujarnya dengan wajah dibuat-buat begitu serius.

"Oh iya iya," ejekku agar pembahasan sia-sia ini berakhir.

Saat hendak berbalik, kulihat Vivi yang berjalan di arah berlawanan. "Vi ...," teriakku tercekik akibat Kak Rian dengan cepat membungkam mulut ini dan menyeretku bersembunyi di dalam kelas. Hanya dengan isyarat, Kak Rian meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

Beberapa menit kemudian, telapak tangan itu terlepas dari mulutku. Udara di sekitar pun bebas kuhirup.

"Sorry," ucapnya.

"Kalau mau bunuh gue, jangan kek gini dong, Kak! Nyiksa namanya," protesku.

Dia tertawa pelan, garing, dengan wajah yang terlihat masam. Tidak sinkron dengan apa yang ia lakukan. Rasa dan tawanya tak bergandengan.

"Duh, padahal gue ada perlu sama Vivi!" seruku.

"Kasih dia waktu sendiri," sahut Kak Rian.

Kata itu keluar dengan penegasan, hingga membuat diri ini terkunci di tempat. Kuperhatikan wajah itu lekat, ada rasa kecewa dan juga penyesalan di sana. Entah bagaimana. Namun, ini kali pertama aku melihat Kak Rian seperti ini. Manusia yang terkenal karena kegilaannya, juga keceriaannya, kini terlihat sangat menyedihkan.

Dia benar-benar Kak Rian, 'kan?

Mencoba mengambil udara lebih banyak dan mengaturnya agar membuat diri lebih tenang. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah Kak Rian dengan menyandarkan tubuh di tembok dan memeluk lutut.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang