Nayara - 10

1K 84 0
                                    


"Lo apa-apaan, sih? Norak tau, gak?" bentakku sembari mendorong tubuh tinggi itu hingga pundaknya terbentur pada dinding.

Memperbaiki posisi berdirinya, lalu membersihkan kotoran putih yang membekas akibat terdorong ke dinding. Dia tak menjawab ucapanku, hanya duduk di atas motor yang terparkir dan menatap anak-anak di luaran sana yang menunggu lampu merah dan menjajakkan koran juga minuman dingin.

"Kalau orang nanya tuh, jawab!" seruku lagi. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang berlalu lalang.

Rega benar-benar keterlaluan, tak tahu lagi apa yang harus kujelaskan pada Patricia nantinya. Keputusan yang Rega ambil benar-benar membuatku dalam posisi tidak tahu harus berbuat apa.

"Rega! Kalau orang ngomong tuh dijawab!" teriakku sekali lagi, tak lupa kugoncangkan tubuh itu ke kiri ke kanan agar wajahnya dapat berbalik dan menatapku.

Siang yang cukup panas, ditambah sikap dingin dari Rega membuatku semakin panas. Bukannya membeku sepertu cewek-cewek dalam cerita novel jika bertemu cowok dingin, akan ikut membeku. Sayangnya, aku malah merasa semakin marah dan ingin mengacak-acak wajah yang sok misterius itu.

"Sebenarnya, apa sih masalah terbesar lo sampe segitu marahnya sama gue?" Akhirnya pertanyaan pertama yang keluar dari mulut laki-laki itu terdengar, walau tanpa berbalik ke arahku.

"Lo masih nanya? Lo ngakuin gue sebagai pacar! Gila, Kak Rian bakal mikir kek gitu, terus Pat bakal kecewa sama gue karena punya pacar dan gak bilang-bilang sama dia. Ish! Lo tuh makanya kalau ngomong, dipikir dulu!"

"Terus kalau gue gak ngomong kek gitu, lu bakal ngelakuin apa tadi? Iyain semua kata-kata Martia? Bego, gak tau terima kasih," cibirnya.

Sialan, sialan, sialan. Dasar menyebalkan. Namun, ada benarnya juga. Ah, tetapi semua itu akan membuat masalah baru yang akan datang.

Aku terdiam sembari mengikuti langkah laki-laki itu menuju parkiran mobil. Sepulang sekolah tadi, aku terus mengikutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan, sampai membuat rencanaku dan yang lainnya berantakan. Walau tak acuh, tetap kuikuti.

Ia masuk ke dalam mobilnya dan aku ikut masuk dan duduk di sebelahnya.

"Keluar," perintahnya.

"Lo mau pergi ninggalin gue gitu aja? Gila, jahat banget."

"Salah lo ngikutin gue," jawabnya.

"Terus gue harus gimana? Masa jalan kaki ke sekolah? Mobil gue, gue tinggal di sekolah, ish!"

Dia tak acuh, bahkan semakin menatapku tajam. Seakan-akan ingin menelanku bulat-bulat.

"Anterin gue ke sekolah dulu," pintaku sedikit memaksa. Tak peduli dengan sikap dingin dan ketajaman matanya. Aku bisa berubah menjadi harimau liar jika dia sampai macam-macam.

Dia menggeleng. "Gak bisa, gue ada keperluan. Lo turun."

Bergeming, tak acuh. Rasanya ingin mengumpat dengan mengabsensi satu per satu hewan di kebun binatang. Rega benar-benar tak punya hati. Tega membuatku menjadi gembel.

Kulirik sedikit, dia mengusap wajahnya dengan kasar, sampai hidungnya memerah. Ah, salah dia juga sih, cowok kok kulitnya putih banget, ngalahin aku pula.

"Gue ikut," ucapku.

"Gak bisa," jawabnya.

"Pokoknya gue ikut, gue gak mau jadi gembel di jalan."

"Lo emang gembel," ujarnya nyaris membuat mataku melotot ingin keluar.

"Bisa gak sih lo gak buat gue marah?"

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang