Nayara - 6

1.2K 83 4
                                    

"Puas, lo?" ucap Martia sinis.

Setelah keluar dari ruang BK, terlihat Syakira yang sudah berdiri dengan wajah harap-harap cemas. Menghampiri Martia, seakan-akan takut terjadi sesuatu.

Ucapan sinis dari Martia kuanggap angin lalu, berjalan mendahului dua orang itu. Sejujurnya aku tak pernah ingin mencari masalah selama bersekolah. Sudah cukup membuat prestasi tanpa sensasi.

"Jangan harap lo bisa lepas dari gue!" teriak Martia yang mampu membuat langkahku terhenti.

Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, berkali-kali kuulangi. Tidak ada niat untuk berbalik, langkahku tetap berjalan ke depan. Persetan dengan umpatan yang ia lemparkan bertubi-tubi.

Cukup hari ini saja, kuharap tidak ada hari yang lebih buruk dari ini. Dalam hitungan yang cukup singkat, aku memasuki ruangan sakral sekolah. Untungnya, tak ada hukuman, hanya peringatan yang cukup membuat kakiku bergetar.

Sesampainya di kelas, tubuh ini pun terduduk lemas. Menatap satu per satu teman yang sudah bersiap menuju musala tuk menjalankan ibadah salat Zuhur dan menyisakan beberapa non muslim yang menjaga kelas.

"Sholat lu sono!" perintah Patricia sembari menjitak kepalaku.

Tak begitu sakit. "Lagi M," ucapku lirih.

Seperti biasa, Patricia akan menggeledah tasku dan mengeluarkan mukenah yang selalu kubawa. "Lo kalau malas, jangan pake alesan menstruasi tau, gak?" serunya.

Ini selalu terjadi jika aku sedang lupa, atau enggan bersapa dengan sang Maha Kuasa. Patricia, sosok sahabat yang selalu mengingatkanku dengan cara keras. Perbedaan agama justru membuat kita semakin erat untuk saling menegur.

"Pat, gue capek, sumpah! Abis bersihin toilet, belum selesai makan bakso malah adu jotos sama si Martia. Eh, lagi sakit-sakitnya, malah diseret ke ruang BK. Lu gak tau sih cobaan gue hari ini, berat banget, tau!" gerutuku.

Patricia mengambil posisi duduk di sebelahku, lalu menatap mata ini dengan tajam. "Lo sadar, gak? Tuhan ngasih cobaan ke umat-Nya itu, karena Dia kangen. Please, jangan cuma kode dari cowok aja yang bikin lo peka."

"Iya, iya, bawel nih!" ujarku sembari bangkit lalu berbalik ke belakang. "Dita mana?"

"Udah ke musala duluan, lu nyusul gih sana! Minta sesuatu sama Tuhan aja pengen cepet, giliran ibadah lambat," keluhnya.

"Ya Allah, Pat! Iya, iya, ini gue lari deh ke musala biar cepet!" seruku sembari berlari menuju musala.

Walau sebenarnya lelah, tetapi setelah mendapat semangat dari Patricia, jelas membuatku lebih hidup. Juga, benar apa yang semua Patricia katakan, harusnya aku bisa mengerti tanpa harus diberi tahu.

Seperti biasa, setelah melaksanakan salat berjemaah, salah satu guru akan menunjuk salah satu murid untuk naik ke atas mimbar dan melakukan dakwah.

Tidak mengambil waktu lama, selesai. Sebelum keluar, sempat kucari keberadaan Dita. Biasanya, aku dan Dita akan pergi dan pulang salat bersama-sama. Sayangnya, kulihat Dita sudah berjalan duluan bersama Syakira dan Martia. Dari awal kurasa ada yang aneh. Namun, entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Wajar jika Dita ada di sana, Martia adalah saudaranya. Otomatis akan lebih dekat dengannya.

***

"Udah bener belom? Siapa tau hoax doang lagi," ucap Patricia saat aku mulai masuk ke dalam kelas. Lagi-lagi perempuan itu berada di tengah lingkaran, menjadi titik pusat ghibah terbesar di kelas.

Mungkin karena lelah, kuputuskan untuk duduk saja sembari menunggu mata pelajaran berikutnya. Seperti tadi, cukup hari ini saja. Beban berikutnya tidak akan terulang kembali.

Syakira, Martia, dan juga Dita baru saja tiba di kelas, padahal awalnya mereka lebih dulu berjalan. Entar nyasar ke mana hingga membuatku tiba lebih dulu.

Dita berjalan ke bangkunya lalu mengankat ransel. "Pat!" teriaknya.

Yang tadinya asyik, akhirnya menoleh. Patricia yang memang teman sebangku Dita selalu siap siaga setiap Dita memerlukan bantuan.

"Gue pindah tempat duduk, ya! Bareng Martia," ucapnya.

"Nah lo?" sahutku merasa tak terima, "terus Pat duduk sama siapa, dong? Masa sendiri?"

"Gak apa-apa, kan, Pat?" tanya Dita tanpa memedulikan omonganku sedikit pun.

Gerah. Entah apa yang terjadi pada Dita, jelas ino membuatku tak tahan. Namun, harus bagaimana jika perempuan itu enggan berbicara. Jangankan membalas pertanyaanku, melakukan kontak mata saja sepertinya ia enggan.

Kembali memutar memori, memaksakan otak tuk bekerja lebih keras. Mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Sepertinya tak ada masalah, dari dulu memang aku tak pernah merasakan konflik dengan Dita maupun Patricia.

"Pat, gue duduk bareng lo, ya!" seruku sembari mengangkat ransel ke bangku Patricia.

Sempat kulihat Syakira yang memandangku tak rela. Benarkah tak rela, atau hanya perasaan saja. Selama ini Syakira memang jarang sekali berbicara, tetapi bagaimanapun dia, orangnya tidak semenyebalkan Martia.

Aku benci melihat Dita dengan dengan Martia.

"Ngerujak yuk, Nay!" seru Patricia yang baru saja mendaratkan bokongnya di sebelahku.

"Pelajaran udah mau dimulai, kali! Gak masuk akal juga ngerujak di sekolah. Mikir deh," ucapku.

Terlihat kesal, Patricia melakukan adegan hiperbola seakan-akan ingin mencakar meja. "Percuma sih peringkat pertama mulu, tapi lemot kalau diajak ngobrol."

Paham betul sindiran Patricia untuk siapa.

"Yaudah, pulang sekolah di rumah lo, ya!" seruku sembari menunjuknya, "untuk kali ini gue gak mau keluar duit! Enak aja tiap kali ngerujak, gue yang talangin."

"Ya kan lu holkay, Nay!" sahut Patricia.

"Gak deng, ya! Gue mau belajar hemat biar bokap gue gak bangkrung cuma gara-gara rujak, ya!"

"Sialan," umpatnya. "Sans-lah, yang beli buahnya Kak Rian! Dia bakal ikut, sekalian ngajakin Vivi. Bantu dia biar gak stres mikirin kehidupan yang semakin gelap akibat ulah manusia."

Tertegun sejenak mendengar itu, Kak Rian selalu punya usaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Vivi. Ya, walaupun kalimat berlebihan dai Patricia cukup memuakkan.

"Gue ikut!" teriak Martia membuatku dan Patricia berbalik, "pulang sekolah di rumah lu kan, Pat? Gue ikut."

Patricia sempat memandangku bingung sembari menjawab, "Oh, oke."

"Perasaan gak ada yang ngajak, deh," gerutuku.





Untuk mengejar deadline. Ini part gimana? Parah, ya. Typo pasti bertebaran. Maklum, gak baca dua kali langsung posting. Maafkeun^^

Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang