"Gak usah belajar peka. Ini bukan tentang pelajaran, tetapi tentang rasa. Kalau memang rasa itu gak ada, mau kamu belajar gimana pun, percuma."o0o
"Gue bingung mau bilang sorry, atau makasih, tapi gue seneng banget sumpah!" serunya sembari memainkan sepatu merah muda.
Sebagai pendengar yang baik, diam ada pilihan utama. Dia terus tersenyum sembari menatap langit mendung di luar sana. Memilih mengajak duduk di depan kelas dibanding ke kantin seperti siswa lain, ia mulai bercerita.
"Lo kayak dewi keberuntungan tau, gak?" ujarnya.
Aku masih diam menatap laki-laki itu. Semoga saja, suatu saat nanti bukan hanya mata yang dapat memilikinya lebih lama.
"Vivi udah mulai mengerti, walau masih canggung, sih. Ah, sama aja, dia udah berubah. Gue ngerti banget, semua orang punya masalah, bahkan ada yang lebih berat dari gue," ucapnya lalu menatapku yang masih setia mendengarkan, "makasih, ya, Nay."
Kuanggukkan kepalaku. "Orang tua Kak Rian, gimana?"
"Gak berubah sih, tapi gak apa-apa. Gue bakal usaha sendiri untuk itu," jawabnya penuh semangat.
"Kalau ... hubungan Kak Rian sama Martia?"
Senyumannya mengembang. Terlihat pipinya memerah, dan terlihat salah tingkah. Sesekali menggaruk tengkuknya dan melirik ke sana ke mari, tentu saja dengan senyum yang tak lepas dari wajah itu. Sempat kulihat juga ia menyentuh bibirnya dalam beberapa detik hingga membuatku mengingat kejadian kemarin.
"Parah," jawab Kak Rian masih dengan senyuman, "parahnya, gue gak bisa ungkapin pake kata-kata."
"Selamat, ya. Aku sampe gak tau kalau kalian punya hubungan," ucapku lirih.
"Emang belum, sih."
Senyum itu memudar.
"Kok?" Aneh untukku, mereka sudah melakukan itu, tetapi belum mempunyai hubungan yang mengikat sama sekali.
Laki-laki itu malah terdiam, bangkit dari duduknya dan melangkah keluar, menikmati jatuhnya hujan membasahi bumi. Kuikuti langkah itu dan berdiri di sebelahnya. Dari sini, terlihat banyak orang yang sedang asyik di lapangan, berlarian mencari tempat berteduh.
"Gue balik ke kelas, ya," pamitnya tanpa mendengar jawabanku terlebih dulu.
****
Sesungguhnya tidak ada yang spesial hari ini, Vivi duduk bersama Patricia, dan aku bersama Syakira. Rasanya seperti berteman dengan tembok. Wujudnya doang yang muncul, tetapi suaranya tak pernah terdengar. Sekali terdengar, kadang mengiris hati.
Patricia dan Vivi berbalik ke arahku.
"Pulang sekolah, ke kafe depan sekolah, yuk! Baru buka, lho! Pasti banyak promo," seru Patricia.
Vivi ikut mengangguk. "Iya, bosen juga kalau langsung pulang. Ajak Dita juga!" serunya.
"Dita?" ucapku lirih sembari melirik ke arah bangku Martia.
Mereka duduk berdua, tetapi tak pernah bersua sama sekali. Sebenarnya, untuk apa Dita dekat dengan Martia kalau ujung-ujungnya seperti tak saling mengenal satu sama lain.
"Kalau Dita mau, ajakin aja. Sekalian kita ke monas, yuk! Kangen loh gue ke sana," ajakku.
Patricia sedikit berpikir lalu kembali melihatku. "Emang keburu? Entar ketutup gimana? Ke taman yang waktu itu aja, gimana? Siapa tau, kan, ada yang open casting," usulnya.
Sebulan lalu aku, Patricia, dan Dita sempat bermain di sebuah taman tempat lokasi shooting, karena waktu itulah membuat Patricia sering mengikuti casting, walau sering juga ditolak.
Setelah itu, aku sering menemaninya mengikuti casting. Lumayan seru, ketimbang di berada dalam neraka, sendiri dan terkubur pada empuknya ranjang.
"Kita cek ke monas dulu, siapa tau kan masih buka. Kalau gak juga gak apa-apa, yang penting bisa nyobain kerak telor. Gue pengen banget masa, udah lama gak makan," pintaku.
Kerak telur adalah makanan khas Kota Jakarta. Jangan salah, walaupun aku terlahir dari darah Kota Pelajar, tetapi lidahku selalu lumer untuk makanan-makanan khas Jakarta. Makanan ini pun selalu membuatku teringat dengan bunda. Beliau tak pernah alfa untuk membeli makanan itu di saat kami sedang di monas. Ya, kami. Aku, bunda, ayah, dan juga dia yang membuat keluarga ini berubah dalam waktu seketika.
Selalu ada rasa kesal jika mengingat, kenapa ia pergi begitu cepat, kenapa ia sengaja membuat semua berakhir dengan menyakitkan seperti ini.
"Ngayal, lho!" sahut Patricia membuatku tersadar dari lamunan, "tuh, Rega ngajak ngomong!"
"Rega?" tanyaku tak percaya.
"Ga, tadi lo ngomong apa?" tanya Patricia lalu kuikuti sorot pandang perempuan itu. Jatuh pada laki-laki atau si anak baru menyebalkan itu. Ya, dia yang berani memanggilku 'Gembel'.
"Lo kemarin gak masuk, kan, karena dihukum? Lo sekelompok sama gue di mata pelajaran seni budaya. Abis pelajaran, lo jangan balik dulu," ujarnya.
Masih dalam pikiran yang tak habis pikir, juga sungguh tak percaya. "Nama lo ... Rega? Serius? Nama asli, samaran, nama fandom, apa nama pena?"
Dia menggelengkan kepala sembari berlalu dari tempatku, ia kembali ke tempat duduk yang semula.
"Parah, gue abis ngobrol sama orang gila," serunya pada Anton, teman seduduknya.
"LO NGATAIN GUE?" bentakku sembari bangkit dari tempat duduk. Tak terima, kulangkahkan kaki ini menuu bangku sialan itu dan memukulnya dengan keras. "Kalau lo cowok, jangan berani di belakang dong!"
"Setelah gembel, gila, mau gue kasih julukan apa lagi, Nyonya Nayara si Cewek 'yang katanya' Pembawa Keberuntungan? Parah, perasaan gue gak pernah beruntung selama kenal sama lo?"
"Jaga ya, ucapan lo! Lo emang bawaannya sial, gimana mau beruntung coba?"
Dia mengangguk lalu bangkit dari duduknya hingga membuatku sedikit menaikkan kepalaku untuk melihat wajah laki-laki itu. Ah, ini salah satu hal kenapa aku benci dengan orang tinggi.
"Nama gue Rega, dan seorang Rega gak akan dapat sial, kecuali kalau gue tiba-tiba hilang, lo yang sial."
Sungguh, kalimat yang ia ucapkan sama dengan apa yang pernah Kak Rega ucapkan. Kak Rega tak pernah mendapat kesialan, kecuali aku jika kehilangan Kak Rega.
Bodohnya, air mataku mengalir begitu saja.
"Lo kok nangis?" tanyanya.
Ah, malu, kularikan saja diri ini menjauh. Walau menjadi pusat perhatian, tetap tak acuh dan mempercepat langkah ini. Ada sesak dan juga rasa tak percaya diri padaku.
Ingin meyakinkan diri, tetapi mereka hampir sama. Kak Rega dan Rega.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayara (TELAH TERBIT)
Ficção AdolescenteTAMAT DAN PART MASIH LENGKAP❤❤ Nayara Grizelle. Kata bunda, arti namaku adalah Pemberi Kedamaian dan Wanita Pejuang yang Cerdas. Beliau pikir, dengan hadirku di dunia ini, ia tak akan lagi merasa sesak, juga tak lagi menjatuhkan air mata. Sayangnya...