Nayara - 12

992 89 1
                                    

"Aku masih bersemayam pada tanda tanya yang terus menghantui. Tentang dia, lelaki pertama yang mengenalkanku pada lantunan azan yang syahdu."

- Ayah -

****

Dua pagi. Rasanya tenggorokan tercekat, serak dan sulit mengeluarkan suara. Pendingin ruangan pun rasanya tak berguna sama sekali, peluh berjatuhan membasahi tubuh. Kuteguk beberapa kali air yang berada di atas nakas. Mataku sulit terpejam. Bangkit dari ranjang, tetapi tubuh seakan berat untuk dibawa.

Terduduk lemas di sebelah ranjang. Mencari di mana letak ponsel yang selalu kuletakkan semaunya. Siapa, aku tak tau. Namun, aku perlu bantuan.

Benda pipih itu kutemukan menggerakkan jemari membuka pola, lalu terdiam sejenak. Siapa? Siapa orang yang akan kurepotkan di tengah malam seperti ini.

Patricia.

"Kenapa?" Suara ketus itu terdengar sebelum aku mengucapkan kata 'halo'.

"Belum tidur?" tanyaku dengan sisa kekuatan yang ada. Tenggorokanku semakin panas terasa.

Lama, lumayan lama ia menjawab, lalu, "Iya, gue lagi nonton drakor. Kenapa, sih?"

Kebiasaan.

"Gue boleh minta tolong?"

"Nay, jangan ganggu bisa, gak? Udah, ya, gue mau fokus ke D.O."

Sambungan terputus. Memang bodoh, sih. Kenapa juga mengganggu di saat tengah malam ini. Kuyakin bisa memejamkan mata dan membukanya saat mentari telag hadir menyapa. Saat arunika datang, semua akan baik-baik saja. Kumohon.

***

Membuka mata dengan sedikit rasa kaget. Hanya sebentar, saat mencoba menggerakkan tubuh, rasanya berat sekali. Tak ada tenaga yang kudapatkan kali ini. Namun, ketukan pintu kamar yang begitu kencang sekali lagi membuatku harus bangkit.

Ah, tetapi siapa yang mengetuk pintu kamarku? Jelas, rumah lantai dua ini hanya terisi olehku saja. Ataukah, ayah pulang?

Saat pemikiran itu terlintas, ada keajaiban pada diri ini udah segera membuka pintu. Walau harus melangkah dengan sangat pelan, tetapi semangatku saya membara.

Terbukalah pintu itu, dan ... bukan yang kuharapkan.

"Rega?"

"Lo pucat banget," ujarnya dan dengan cepat ia menggendongku. Belum sempat untuk melayangkan protes, tubuh ini sudah terduduk di dalam mobilnya.

"Lo?"

"Kita ke rumah sakit," jawabnya.

Aku menggeleng. "Gue gak apa-apa, Ga. Cuma butuh istirahat doang."

Sayangnya, Rega si keras kepala kali ini tak dapat kukalahkan. Bahkan, aku merasa percuma berbicara dengan manusia keturunan tembok.

Perjalanan cukup macet, ya, namanya juga ibu kota. Namun, yang membuat mataku membulat saat melihat langit telah berwarna senja. Lantunan azan pun membuatku bertanya-tanya.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang