Nayara - 13

942 79 6
                                    


"Yuk!"

"Yuk?" tanyaku pada Rega.

Di saat semua orang mulai menghilang dari kelas, Rega malah berdiri di hadapanku. Wajah yang sulit tersenyum itu terlihat sedikit aneh saat memaksakan untuk tersenyum.

"Daripada lo di kelas sendiri maen sama buku paket, mending ke kantin."

Aku mengernyit tak percaya. Benar juga sih, tetapi ada rasa canggung. Sejak kejadian kemarin, rasanya diri ini ingin menjauh dari Rega. Berharap semua kembali seperti sedia kala, tanpa Rega, dan tentu saja Syakira juga Martia.

Kugelengkan kepalaku, menolak tanpa harus mengeluarkan kata.

"Kenapa?"

"Lo ke kantin aja, gue gak laper," jawabku.

Rega mendengkus kesal seraya melirik tajam ke arahku. "Lo mau gue gendong sampe kantin?"

Nada bicaranya biasa saja, ekpresi wajah itu juga datar, tetapi mampu membuatku berdiri dan berjalan lebih dulu.

Tanpa melihat ke arahnya, ia juga berjalan di sebelahku. Sungguh, andai Rega tak mengancam, kutak ingin keluar dari kelas, apalagi kantin. Tuhan, aku tak ingin bertemu mereka untuk saat ini.

Langkah pun terhenti di kantin, dan bodohnya, mataku jatuh pada meja yang ditempati Patricia, Dita, Syakira, juga Martia. Tak kulihat Vivi di sekitarnya.

"Mau duduk bareng mereka?" tanya Rega.

Segera kugelengkan kepalaku dan berjalan melewati meja tersebut. Bahkan, mata ini enggan melihat kumpulan itu.

"Bakso?" tanya Rega.

"Gue udah bilang, gue gak lapar," ucapku lirih.

"Oke, somay," sahut Rega sembari memanggil Kang Ehsan, "Kang! Somay dua, ya!"

"Lho?" tanyaku. Namun, Rega seperti tuli dan tak peduli.

Aku dan Rega duduk di meja yang agak jauh dari Patricia. Bukan, aku tak membencinya, hanya sedikit kesal dan berharap apa ia sadar dengan apa yang dilakukan saat ini.

Sembari menunggu datangnya somay, mataku menangkap seorang perempuan yang berlari dengan lelehan air mata di pipi. Dia Vivi, ada apalagi dengannya. Jangan sampai ia mengulangi hal yang sama.

"Ga, kali ini aja lo nurut. Kasih tau Kang Ehsan, somaynya disimpen dulu, gue ada urusan penting," ujarku.

Rega yang sibuk dengan ponselnya mendongak. "Sepenting apa?"

"Lo ... pokoknya penting," sahutku.

Dia mengembuskan napasnya secara kasar. "Bisa gak sih, lo gak usah ikut campur urusan orang?"

Pertanyaan dari Rega berhasil membuat kerutan pada dahiku. Apa maksudnya? Laki-laki ini tak tahu apa-apa, tetapi mampu mengambil kesimpulan seenak jidatnya.

"Maksud lo?"

"Nayara Grizelle, bisa, gak, gak usah ngurusan urusan orang? Emang lo pikir gue gak perhatiin lo? Lo selalu ada tiap orang butuh bantuan, tapi pernah gak orang lain ada di saat lo butuh?"

Cukup panjang. Ah, Rega dapat berkata panjang kali lebar di saat perlu saja. Namun, perdebatan ini sungguh tidaklah penting.

"Lo ada kok buat gue. Iya, kan?"

Dia mengangguk walau terlihat tak acuh.

"Ya udah, gue ke sana dulu. Please, nanti kita ketemu di kelas lagi. Jangan lupa somay gue, ya!

Kukatakan itu sembari berlari menjauh keluar dari area kantin. Entah kenapa, kaki ini terus berlari, padahal orang ya g kucari tak kutemukan keberadaannya. Namun, langkahku tak terhenti seperti menemukan tujuan. Ya, tempat pertama kali aku bertemu dengan Vivi.

Atap sekolah.

Aku sampai di tempat ini dengan napas yang tersengal-sengal, saat menunduk memperhatikan seragam, ternyata sudah basah kuyup diguyur keringat. Namun, semuanya tak berakhir sia-sia. Kulihat Vivi duduk di sebuah bangku kosong di sana.

Oh iya, atap sekolahku tak seperti yang ada di film-film. Sangat jorok, bahkan penuh debu.

Vivi di sana, terduduk seraya menangis tersedu-sedu.

Kuambil posisi duduk di sebelahnya. Dia menatap ke arahku dengan ekspresi heran.

"Udah, nangis aja dulu. Anggap gue gak ada di sebelah lo," ucapku.

Setelah mengatakan itu, tangisnya semakin pecah. Hal ini membuatku mengingat bunda.

"Bunda!"

Seorang wanita terduduk lemas di pinggir kolam renang. Ia menangis sejadi-jadinya. Kak Rega juga ada di sebelahnya. Mereka terlihat sangat murung.

"Kak Rega ... Bunda kenapa?" tanyaku yang baru saja pulang sekolah. Bahkan, belum sempat kuganti seragam putih biru ini. Namun, suara tangis bunda seakan memanggil.

Kak Rega hanya menghela napas sembari menggeleng.

"Ya udah, Bunda nangis aja dulu. Anggap, aku dan Kak Rega gak ada di sini."

Setelah mengatakan itu, tangis bunda semakin pecah. Lalu, memelukku dan Kak Rega begitu erat. Walau tak tahu masalahnya apa, tetapi aku dan Kak Rega ikut menangis.

Lamunanku pecah saat Vivi berteriak.

"Vi, coba istigfar dulu," ucapku.

"Nay, gue ... gue ... takut," ucapnya lirih.

Aku hanya mengangguk dan langsung memeluk perempuan itu begitu erat.

"Lo jangan takut, gue ada di sini. Gue selaly ada buat lo, terserah lo mau cerita atau nggak, yang penting lo jangan pernah takut. Lo gak sendiri," ujarku mencoba menyemangati.

Pelukanku terlepas, ia menatapku penuh keyakinan. Walau wajahnya masih penuh air mata dan keringat, ia terus mengangguk dan mengatakan, "Gue percaya sama lo, Nay. Lo orang baik, gue yakin."

Aku menggeleng. "Gue bukan orang baik, Vi, tapi gue mencoba jadi orang baik buat lo," ucapku lalu menjeda sejenak. Mengambil stok udara yang banyak lalu melanjutkan kembali. "Lo ada apa?"

"Lo bakal bantuin gue kan, Nay? Lo gak akan bilang ke siapa-siapa, kan?"

Aku mengangguk meyakinkan. Kedua tangan Vivi menggenggam tanganku erat. Denagn sedikit getaran dan menahan tangisnya pecah, ia menghirup napas panjang untuk menetralkan perasaan laly membuangnya secara halus.

"Menurut lo, Kak Rian orang baik?"

"Tentu," jawabku.

Dia menggeleng dan lagi-lagi air matanya mengalir. "Lo bilang gitu karena lo suka sama Kak Rian, kan?"

Aku terdiam.

"Gue hamil," lanjutnya.








Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang