Nayara - 3

1.5K 114 0
                                    

"Gak masuk, Nay?" tanya Patricia yang baru saja keluar dari ruang ICU, sedangkan Dita berada di toilet.

Aku menggeleng kepala ke arahnya.

"Kenapa? Lo gak mau jenguk Vivi?"

"Keadaannya baik-baik aja, kan? Ya udah, gue duduk di sini aja."

Sebenarnya bukan karena tidak peduli dengan Vivi, tetapi otakku masih bekerja tuk mengingat kejadian sebelum masuk ke rumah sakit. Masih teringat saat mata ini tak sengaja menangkap Kak Rian. Laki-laki itu duduk di taman rumah sakit sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Walaupun melakukan itu di tengah kegelapan yang hanya ditemani lampu dengan tingkat cahaya rendah, tetap saja penampilannya mudah tuk dikenali.

"Pat, lo masuk temenin Vivi sampai orang tuanya datang, gue mau ke ke depan dulu," ujarku.

"Ngapain?"

Dengan langkah yang sudah sedikit jauh, aku berteriak, "Ada urusan. Entar gue balik tengokin Vivi."

Kusemogakan akan yang ada di pikiran Patricia tidak mengarah ke mana-mana. Hanya ingin memastikan apa yang ditangkap oleh netraku tadi. Semoga objek itu tidak menghilang dalam waktu dekat ini.

Benar saja, posisi laki-laki itu masih sama. Kali ini, wajahnya menengadah berhadapan dengan ribuan bintang yang berhasil menghipnotis indra penglihatan dengan keindahannya.

Tidak berniat membuatnya kaget, laki-laki itu sempat salah tingkah saat tubuhku duduk di sebelahnya.

"Bintang itu indah, ya. Nyokap gue dulu juga suka banget duduk di tepian kolam renang sambil mandang bintang. Kalian punya hobi yang sama," ucapku.

Tanpa melihat ke arahnya, suara berat dan serak itu pun terdengar. "Gue cuma natap langit dengan pandangan kosong, gue gak begitu peduli seindah apa pun bintang itu."

Aku berbalik ke arahnya, mata kita saling bertautan. Lalu, dengan senyum itu ia mengatakan, "Karena di sebelah gue ada yang lebih indah."

"Dikira gue bakal lemes gitu denger gombalan Kakak?" sahutku.

Dia malah tertawa, akhirnya wajah murung yang pertama kulihat saat ia melihat bintang itu beubah menjadi tawa. Walau entahlah, apa tawa itu benar adanya, atau sebuah formalitas di hadapan orang-orang.

"Tadi kan gue udah bilang, Kak, gue bisa jadi diary versi pembalut. Gimana? Belum mau cerita?"

"Gak biasa gue cerita," ujarnya sembari menggaruk tengkuknya.

Helaan napas akhirnya keluar dari mulut ini sembari menyandarkan tubuh pada bangku taman. "Kak," panggilku tanpa melihat ke arahnya. Masih pada bintang yang jauh di sana. "Kalau gue kepo. Boleh, gak?"

"Boleh."

"Tadi kan, gue sempet liat Kak Rian dan Vivi ngobrol, berarti Kak Rian liat dong pas Vivi ditabrak. Dia ... coba bunuh diri lagi?"

"Nggak."

"Terus, kenapa sampai ditabrak?"

"Nyebrangnya asal."

"Kenapa?"

"Apanya kenapa?"

Diri ini mulai kesal. Bagaimana tidak, apa yang kupertanyakan, jawabannya sangat tidak memuaskan. "Kesel sumpah ngomong sama lo!"

Dia malah tertawa sembari mencubit pipi ini. Hanya beberapa menit, kembali terdiam. Sunyi malam ini semakin seram jika di antara aku dan dia tidak bersuara. Untungnya, dia memulai pembicaraan lagi.

"Tadi ada sedikit masalah sama Vivi, dia marah sama gue, terus gitu, saking marahnya ... dia lari ke tengah jalan dan ...."

Belum sempat Kak Rian menjelaskan, getaran pada benda pipih ini menghentikan.

"Angkat aja dulu," ucap Kak Rian.

Sembari mengangguk, aku menerima panggilan dari Patricia.

"Ya?"

"Lo di mana? Ke sini gih, gue awakward banget ngomong sama orang tua Vivi."

"Dita mana?"

"Pulang. Katanya perut dia sakit. Gue tadinya mau ikut pulang, eh tapi kan lu masih ada di RS."

"Ya udah, tunggu. Gue ke sana."

"Cepetan."

Kembali memasukkan ponsel ke saku, Kak Rian menatapku bingung. "Mau pergi?"

"Iya, balik ke ruangan Vivi, ortunya udah datang."

Kak Rian bangkit dari duduknya. "Gue ikut," ucapnya.

"Ke mana?"

"Ya ke ruangan Vivi-lah."

"Serius?" tanyaku.

"Iya, ayo!" ajaknya sembari menggenggam tangan ini.

Kali pertama berpegangan tangan dengan seorang laki-laki ternyata tidak begitu buruk. Namun, ada rasa aneh yang menjalar pada tubuh ini. Mata seakan-akan enggan menatap wajahnya, juga ada perasaan tak enak jika banyak diam, tetapi bingung ingin berkata apa. Hanya menatap langkah kaki yang bersamaan melangkah, seperti menonton drama Korea. Ah, aku tak tau apa yang telah kulakukan sekarang.

Terlalu lama menperhatikan tangan dan kaki, akhirnya sampai juga ke ruangan Vivi. Pegangan dari Kak Rian terlepas saat dia mencoba membuka pintu. Kami masuk bersamaan, hanya beberapa detik saat memasuki ruangan. Seorang lelaki yang mungkin berusia sama dengan ayahku melayangkan tinju ke arah Kak Rian hingga laki-laki itu terbentur di tembok.

"Papi!" teriak Vivi.

Dengan cepat aku berjongkok di sebelah Kak Rian dan memegangi pundak laki-laki itu. Memapahnya dengan pelan walau terasa suara meringis.

"Kak Rian, masih bisa berdiri, kan?" tanyaku.

"Iya, Nay."

Lalu, kubalikkan badanku melihat lelaki itu. Mimik wajah yang terlihat emosi.

"Om, ini tuh rumah sakit! Bukan lapangan tau, kasian anak orang main tonjok aja," ucapku kesal.

"Dia anak saya, terserah saya mendidik dia bagaimana! Dia pantas diberi pelajaran," jawabnya.

Patricia berlari kecil ke arahku. Perempuan itu mencubit lengan ini pelan sembari berbisik, "Itu bokapnya Kak Rian sama Vivi tau!"

Astaga. Sedikit syok walau masih bisa menetralkan perasaan. Kak Rian kembali menggenggam tanganku. Mencoba menguatkan, padahal dia yang sakit.

"Kak ... aku gak tau. Maaf," ucapku pada Kak Rian.

"Gak apa-apa," sahut Kak Rian. Laki-laki itu kembali mengarahkan pandangan pada papinya. "Pi, kita bicara di luar. Gak enak, Vivi pasti mau istirahat."

Setelah itu, lelaki yang disebut Papi itu keluar dari ruangan bersama Kak Rian. Apa pun yang akan mereka bicarakan, semoga tak ada lagi kekerasan yang terjadi. Sementara itu, Vivi masih terbaring lemah dengan wajah yang sangat pucat. Terlihat ibunya yang setia menggenggam erat telapak tangan Vivi, dan Patricia yang sibuk mengupas buah di sana.

Aku hanya dapat terdiam kikuk dalan suasana seperti ini.

"Kamu pacarnya Rian, ya?"

Aku terkejut dengan pertanyaan yang asal keluar itu.

"Saya Ranti, ibunya Vivi."

"Oh, eh saya Nay Tante, teman sekolah Vivi dan Kak Rian," jawabku sembari menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

"Sejak kapan berhubungan dengan Rian? Kok bisa? Dia itu nakal, lho! Kerjaannya cuma nyusahin orang tua. Udah untung ada yang urusin."

Kata-kata itu keluar tanpa difilter. Kalimatnya benar-benar sama saat oma datang ke rumah dan menghina bunda habis-habisan. Keringat dingin mulai menyerang tubuh ini.

"Saya cuma teman kok, bukan pacar," jawabku.

"Baguslah, dia bisa apa kalau punya pacar? Gak ada modalnya," ucapnya lagi sembari tersenyum pada Vivi. Kulihat Vivi juga membalas senyum itu, seakan setuju dengan apa yang diucapkan ibunya.





Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang