Nayara - 21

1K 80 3
                                    


"Lo di mana? Gue liat oma lu di ruang BK."

Pesan singkat dari Patricia mengharuskan aku keluar dari gudang. Meninggalkan Rian dan Rega yang tampak kebingungan. Tak peduli. Sebenarnya aku tak yakin dengan pesan dari Patricia, tetapi Patricia hafal bagaimana omaku.

Saat langkah kaki telah sampai di depan ruang BK, kutepikan tubuh ini tuk berdiri di sebelah jendela. Siswa yang berlalu lalang jelas melihatku seperti penguntit. Terserahlah.

Seorang wanita paru baya dengan busana cokelat tua yang ia kenakan terlihat cukup elegan. Matanya tak bisa diam untuk fokus ke satu titik. Bu Silvia baru saja duduk di hadapan oma. Mereka saling pandang sesaat sampai akhirnya Bu Silvia yang bersuara lebih dulu.

"Nayara murid yang cerdas, Bu."

Oma tak menunjukkan reaksi apa pun. Memberi jeda untuk Bu Silvia bercerita lebih banyak, mungkin.

"Sayangnya, akhir-akhir ini dia sering membuat masalah. Saya kira, ada hubungannya dengan dia yang ...."

"Tidak ada masalah di rumah," jawab Oma, memotong omongan dari Bu Silvia yang jelas membuatku penasaran.

Bu Silvia tertunduk lemas, sembari mengembuskan napas ia terlihat memainkan bolpoin dengan jarinya. Lalu, kembali menatap Oma.

"Saya sebenarnya tau semuanya, Bu. Nayara anak yang baik, sosialisasinya juga bagus. Dia hanya kurang perhatian dari orang tuanya," ungkap Bu Silvia.

"Lalu? Sudah wajar, ibunya sudah meninggal, ayahnya akan menikah lagi. Wajar, dia juga sudah beranjak dewasa, harusnya bisa mengatur hidupnya sendiri agar tidak menyusahkan orang lain."

Sudah cukup. Aku berhenti untuk menguping. Hanya membuat telinga terasa panas saja. Apalagi saat mengetahui ayah akan membangun keluarga baru, aku benar-benar tersingkir dari nama keluarga.

Saat akan melangkah menjauh, kudengar suara Oma yang mengejutkan.

"Kamu, ikut saya!" perintah Oma.

Ada rasa takut harus ikut bersama Oma, terlebih pertemuan terakhir dengannya memberi bekas luka yang sulit tuk dilupakan. Kini, aku duduk di dalam mobil, tepat di sebelah Oma. Sopir yang membawa Oma ke sekolah menunggu di luar agar tak mendengar pembicaraan.

"Ayah kamu akan menikah," jawabnya.

Aku mengangguk. "Maaf, tapi saya sudah dengar."

"Dengan perempuan pilihan saya, perempuan baik-baik, berbeda dengan ...."

"Bundaku?" jawabku sembari menatap wajah yang sudah termakan usia, "iya, bundaku memang tak bisa disamakan dengan wanita mana pun. Dia yang terbaik."

Oma sama sekali tidak menatapku, bahkan saat mengucapkan kebanggan untuk ibu, Oma terlihat sangat tidak suka.

"Kamu ke rumah, kan, kemarin?"

Aku mengangguk.

"Jangan pernah ke rumah lagi, jangan ganggu kehidupan ayahmu."

Kugigit bibir bawah ini tuk meredam rasa sakit di hati. "Kupikir, ayah akan menepati janjinya."

"Maksudmu?"

Teringat kembali saat hari terakhir bunda mengembuskan napas. Ada ayah sebagai pahlawan yang memberi janji tuk setia menemani. Bunda mendapat tugas menemani Kak Rega di surga, sedang ayah mendapat tugas tuk menemanika hingga ajal menjemput. Sayangnya, ucapan ayah hanya sebuah penyemangat di hari terpuruk selama hidup. Setelahnya, semua harus kujalani sendiri, kuhadapi sendiri.

"Janji ayah buat nemenin aku terus, karena di surga bunda udah nemenin Kak Rega."

"Keluat dari mobil saya," sentaknya membuatku mengangguk.

Saat akan membuka pintu mobil, pergelangan tanganku ditarik hingga tubuh ini menempel pada Oma. Dua tangan melekat erat hingga kurasakan aroma parfum khas dari Oma. Lalu, suara rintihan mulai terdengar. Tak begitu jelas, tetapi kata 'maaf' beberapa kali terulang di tengah isak tangisnya.

Oma menangis.

"A ... anu, kenapa?" tanyaku.

Tidak ada jawaban, hanya tangis yang terus terdengar. Aku ya g dibuat bingung hanya mengikuti alur yang terjadi saat ini.

Lama, tubuh Oma melemah hingga ambruk di pelukanku. Panik tentu saja kurasakan, segera kubuka kaca mobil dan berteriak pada sopir agar segera masuk dan menjalankan mobilnya ke rumah sakit.

Wajah Oma benar-benar pucat, detak jantungnya pun terasa melemah. Aku tak ingin kehilangan untuk ketiga kalinya.

Untuk saat ini, cukup Kak Rega dan bunda, jangan Oma. Diri ini masih ingin merasakan pelukannya, walau tahu, ini kali pertama aku mendapatkannya.

Saat memasuki rumah sakit, tak sengaja kulihat Vivi yang memasuki suatu ruangan. Ah, andai saja tidak panik, sudag kususul perempuan itu. Namun, dari semua hal yang penting, saat ini oma-lah yang terpenting.

Menunggu Oma dari luar ICU, segera kutekan kontak dengan nama "Ayah" di ponselku. Saat percobaan pertama, sedang sibuk, percobaan kedua dan ketiga ayah menolak, dan percobaan keempat akhirnya kudengar suara laki-laki itu.

"Kenapa, Nay?" tanya Ayah.

Ada rasa senang walau tercampur panik dalam diri ini.

"Ayah, Nay sedang di rumah sakit," ucapku.

"Rumah sakit mana? Nanti Ayah kirim sopir Ayah buat urus administrasinya," jawabnya.

"Anu, Yah ...."

"Ayah sibuk, Nay. Separah apa kamu?"

"Bukan Nay yang sakit, Yah! Tapi Oma, Oma pingsan tadi," jawabku.

"Pingsan? Kamu ngelakuin apa ke Oma, Nay?"

Terkejut, saat akan mengatakan pembelaan, sambungan diputus secara sepihak. Percakapan dengan ayah hari ini saat menakutkan. Apa ayah akan marah denganku? Namun, aku sendiri tidak tahu di mana letak kesalahan yang kuperbuat.

Menunggu adalah keputusan terakhir sembari merapalkan doa yang terbaik untuk Oma. Namun, dari banyaknya doa yang kupanjatkan, ada rasa cemas yang begitu menusuk diri ini. Ayah akan marah, semua masalah akan semakin parah. Semua hal yang kulakukan selalu salah.

Getaran di ponselku membuat pikiran terpecah. Pesan singkat dari Rega.

Rian itu bangsat, Nay!

Hanya itu, tak ada penjelasan lebih lengkap. Aku menundukkan kepala, mengharapkan semua kembali seperti dulu. Di saat bunda dan Kak Rega masih ada, dan hubunganku dengan Patricia dan Dita baik-baik saja.

Sesulit inikah membuat semuanya terlihat baik-baik saja? Mengapa semua masalah datang bersamaan tanpa memberi jeda sedikit tuk diri ini mengambil napas.

Lalu, jika aku menyerah sampai di sini, apa semua akan semakin buruk? Dengan banyaknya masalah, seperti tertampar dengan omongan sendiri untuk bisa lebih kuat. Namun, kekuatanku hanya sebatas omongan dan senyum yang selalu terlihat. Nyatanya, rapuh.

"Naya!" teriak Ayah, "di mana Oma?"

Aku bangkit dari duduk, menatap lelaki di hadapanku dengan harapan mendapat pelukan jika ia rindu padaku. Sayangnya ....

"Kamu pulang aja, Nay. Ayah takut oma semakin parah kalau kami ada di sini."

Kuanggukkan kepalaku. "Iya, Yah. Aku kan anak pembawa sial, kalau lama-lama di sini, nanti orang-orang yang sakit semakin parah."

Ayah melebarkan matanya, seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Ayah, selamat menempuh hidup baru, ya! Aku gak akan ganggu Ayah lagi, kok. Janji!" seruku sembari menaikkan jari telunjuk dan jari tengah, membentuk huruf V.

Ayah bergeming hingga akhirnya aku melangkah menjauh, dan hari inilah titik rapuh itu hancur berkeping-keping.






Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang