Nayara - 5

1.3K 88 5
                                    


"Jadi, sekarang Vivi udah di rumah?" tanyaku.

Kak Rian hanya bergumam sembari membuka seragam sekolahnya dan menyisakan kaos putih polos. Tanpa aba-aba lagi, ia masuk bilik toilet sebelah.

"Gila, Nay, bau banget! Emang gini, ya, kalau toilet cowok?" gerutunya dari sebelah.

Bibir ini membentuk bulan sabit mendengar ucapan kesal itu. Sembari menyiram beberapa sudut toilet yang kotor, lagi-lagi terdengar keluhan dari sebelah.

"Ah, gak tahan gue!" sahutnya.

"Lebih parah toilet cewek kali, Kak. Mungkin banyak yang ngira cewek itu bersih dalam hal buang air, tapi liat deh," seruku. Kak Rian menghampiri walau sebatas di depan pintu.

Mengedarkan pandangan ke sekitar lalu melirikku dengan satu alis yang sengaja ia naikkan.

"Heheh, udah bersih," ucapku, "tapi tadi tuh jorok banget. Banyak sampah pembalut tau, gak!"

"Doyan amat sih lu bahas pembalut, Nay. Pengin jadi duta pembalutkah?"

Tanganku menyilang membentuk X. "Ya enggaklah! Lagian, emang bener tadi tuh banyak sampah. Mulai dari bungkus pembalutnya, sampe bekas pembalutnya. Emang sih udah gak ber-blood, tapi tetep aja jorok!"

"Iya, iya. Udah bersih, 'kan? Ke kantin, yuk! Gue haus nih," ajaknya.

Tanpa menjawab ajakannya, aku berjalan melewati laki-laki itu menuju bilik tempat hukuman yang ia dapatkan. Kupikir toilet itu belum bersih, pasalnya, ia baru masuk ke sana dalam hitungan beberapa detik.

Kini, laki-laki itu berdiri tepat di belakangku.

"Gimana? Udah bersih, 'kan? ucapnya, dengan jarak sedekat ini, bisa kurasakan embusan napas itu di sekitar telinga.

Berbalik dan mendorong dada bidang itu agar memperlebar jarak.

"Kenapa?" tanyanya.

Dadaku bergerumuh, rasanya jantung ini terpompa dengan kencang hingga darahku terasa mengalir dengan cepat. Untuk menutupi rasa gugup, kudahului ia berjalan menuju kantin.

Saat merasa sudah lebih jauh darinya, barulah aku berseru, "Katanya mau ke kantin? Ayo!"

****

Kantin tidak sepadat biasanya, ini karena jam istirahat sudah lewat kurang lebih 10 menit lamanya. Saat fokus ke meja tempat biasa aku, Patricia, dan Dita duduk pun sudah terisi dengan anak-anak kelas lain.

"Nyari siapa?" tanya Kak Rian yang ternyata baru saja tiba di sebelahku.

Menggeleng. "Aku cuma ... lagi mikir, mau makan apa. Abis dihukum gara-gara dikira pacaran di perpustakaan itu ternyata bikin lapar banget."

"Sorry, ya."

"Santai aja, kali. Oh iya, makan di sana, yuk!" tunjukku pada meja kosong berada di ujung.

Aku dan Kak Rian duduk di sana sembari menunggu pesanan bakso datang. Entah kenapa, keadaan menjadi canggung, tidak seperti biasa. Rasanya ingin mengumpat, tetapi tidak enak juga. Mengumpat dalam hati pun rasanya tak lega.

Di meja yang tak jauh dariku, ada Syakira juga Martia. Mereka memang dekat sejak MOS hari pertama. Sayangnya, walaupun aku duduk sebangku dengan Syakira, aku tidak dapat begitu akrab dengan Martia. Tatapan sinis dan benci dari Martia selalu melayang ke arahku, membuat enggan juga tuk mengajaknya berbicara walau hanya sepatah kata.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang