Nayara - 18

966 81 0
                                    


Sayangnya, belum sempat Patricia melanjutkan, bel berbunyi terasa begitu cepat. Segera Patricia menarik ranselnya dan duduk di sebelahku. Ya, hari ini kelas cukup lenggang. Tidak ada Vivi, Martia, Dita, maupun Syakira. Sudah seperti bolos massal. Kalau Vivi, jelas aku mengetahui di mana perempuan itu, tetapi tiga lainnya? Patricia juga belum menjelaskan semuanya.

Pelajaran matematika cukup membuat otak sedikit panas, saat contoh soal berbeda dengan soal yang diberikan, apalagi pilihan A, B, C, ataupun D tidak sama dengan jawaban hitungan yang kudapat. Rasanya ingin kurobek buku-buku yang ada di hadapanku, padahal biasanya tak seperti ini. Matematika selalu menjadi pelajaran favorit, hanya saja di otak ini telah tertumpuk banyak masalah yang harus diselesaikan. Segera.

Pelajaran jam pertama dan kedua pun selesai diiringi oleh bel tanda istirahat. Wajah-wajah dari teman kelasku juga terlihat sangat lega. Namun, seperti ada yang beda. Tatapan-tatapan mereka sangat mengintimidasi, seakan ingin menyerangku secara ganas.

"Ngeri banget, sih," gumamku.

Kulirik Patricia yang sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam laci dan tas. Lalu, kepalaku berbalik ke belakang, mencari Rega yang sudah tak terlihat. Cepat juga orang itu perginya. Namun, aku harus bicara dengannya, aku tak ingin semua semakin berlarut-larut.

"Mau ke mana, Nay?" tanya Patricia saat aku baru saja melangkah.

Sulit juga memberi jawaban.

"Ke kantin? Bareng, yuk!" serunya lagi.

Kugigit bibir bawah ini lalu kembali mencari alasan. Tak mungkin kukatakan bahwa aku ingin mencari Rega. Tak ingin ada salah paham yang kedua kalinya. Namun, baru saja ingin berucap, Rega masuk ke kelas dan melewatiku. Kulihat ia juga membawa dua bungkus nasi kuning dan satu air mineral. Itu porsi laki-laki.

"Tunggu ya, Pat," ucapku pada Patricia, dia pun mengangguk paham.

Kuberjalan menghampiri Rega. Laki-laki itu dengan lahapnya memasukkan nasi kuning sedikit demi sedikit ke dalam mulut. Dengan bercucuran keringat, kulihat nasi kuning miliknya kini sudah berwarna merah. Orang ini makan nasi pake sambel apa sambel pake nasi, sih?

"Rega, gue mau bicara?" ucapku.

Dia mengangguk walau tak berucap. Jelas sih, mulut laki-laki itu penuh dengan makanan. Bahkan, aku tak yakin jika ia masih bisa bernapas.

"Gue minta maaf. Gue rasa emang pemahaman kita beda," ucapku.

Berhenti sejenak, berharap ia mengeluarkan sepatah kata. Namun, mulutnya masih sibuk mengunyah.

Jenuh, kutarik bungkusan nasinya menjauh. "Lo tau? Makan di dalam kelas itu pelanggaran! Makan itu cuma boleh di kantin."

Dia mengangguk-ngangguk. Menyebalkan. Lalu, kembali menarik bungkusan nasinya dan menyendoknya lagi masuk ke mulut. Yang awalnya tidak lapar, melihat dia semangat seperti itu pun membuatku menjadi lapar. Ah, setan dasar.

"Nih," ujarnya sembari menyodorkan sesendok nasi di depan mulutku, "Aaaa!"

"Apa, sih!" sahutku tak enak. Malu.

"Daripada lo laper, nih!" serunya lagi, sendoknya bahkan semakin maju hingga menyentuh bibirku, "buka, atau gue yang bukain!"

Mendengar itu, aku langsung memundurkan kepalaku. "Gak mau, ah! Sendoknya bekas lo, tau!"

Dia memutar bola matanya, jenuh. "Sok higienis banget, sih. Gue sikat gigi 3 kali sehari."

Kembali sendok itu mendekat, lalu kubuka mulutku dan mengikuti perintahnya. Dia tersenyum seakan berhasil memenangkan suatu lomba. Mengesalkan.

Sembari mengunyah, kudengar Rega mengatakan, "Jangan mudah percaya sama orang. Siapa pun itu."

"Kenapa?" tanyaku.

Belum menjawab, lagi ia menyodorkan sesendok nasi ke arahku dan ya kuterima.

"Karena kita manusia biasa, gak tau siapa yang jujur," jawabnya.

Rasanya lidahku muali nyut-nyutan. Rega kembalo menyodorkan sesendok nasi.

"Udah, ya, Ga. Pemahaman kita beda, apalagi selera makanan. Sumpah, pedes banget!" gerutuku.

Lalu, ia menyodorkan air mineral ke arahku.

"Itu bekas lo!" seruku.

"Sendok tadi juga bekas gue," jawabnya lalu mendekatkan botol mineral itu.

Kuterima, lalu kuteguk. Cukup banyak, tetapi tak menghilangkan rasa pedas di lidah ini. Rega memang gila, ini namanya makan sambel! Aku tak merasa sedang makan nasih tadi, melainkan sambel! Iya, cuma sambelnya doang yang terasa.

Ternyata Rega dan Kak Rega berbeda. Kak Rega, almarhum kakakku malah tidak bisa memakan makanan pedas sedikit pun. Jika tak sengaja memakannya, maka ia akan mengelilingi rumah, makan permen, minum susu, dan berkumur-kumur di wastafel agar rasa pedasnya hilang. Setelah itu, ia akan mulas, bolak-balik keluar toilet. Kaum lemah.

"Lo kok nangis?" tanya Rega mengangetkanku. Memang menyebalkan orang ini. Aku tak menangis, hanya mataku sedikit berair.

Kuembuskan napasku. "Gue inget kakak gue," jawabku.

"Oh, yang namanya sama kayak gue? Dia juga suka pedas?"

Aku terkekeh-kekeh walaupun air mata sudah menumpuk di pelupuk mata. "Kebalikannya."

"Ah lemah," cibirnya.

Yang tadinya sedih, aku langsung mendengkus secara kasar. "Setidaknya Kak Rega lebih ganteng daripada lo, ya!"

"Sejauh ini belum ada yang bisa nandingin kegantengan gue di dunia," ujarnya penuh percaya diri.

Biasanya, yang seperti ini itu Kak Rian. Ah, kenapa juga aku harus mengingat laki-laki itu. Namun, karena sudah terlanjur, aku harus menemuinya. Masalah Vivi harus selesai, semoga Kak Rian dapat membantu. Tentu, pasti akan membantu, mereka bersaudara.

Aku bangkit dari dudukku, tetapi Rega dengan cepat menarik pergelangan tangan ini.

"Jangan ke mana-mana dulu, ke kantin aja. Kasian Patricia udah nungguin lo dari tadi. Cacing lo juga butuh asupan, jangan urusan orang mulu didahuluin."

Kulirik Patricia yang masih setia duduk di bangku. Aku mengangguk ke arah Rega dan menghampiri Patricia.

"Yuk, Pat! Kita ke kantin," ucapku.

Wajah semringah dengan cepat merangkul lenganku dan berjalan keluar kelas.

"Udah lama banget kita gak ke kantin sama-sama tau, gak? Kangen!" seru Patricia membuatku terkekeh-kekeh.





Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang