Bagian 1: Kata Bunda, Adek Itu Nakal
●●●
Kondisi Dafi berangsur-angsur pulih. Bahkan, kini dirinya sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dafi senang, tentu saja. Rumah sakit itu membosankan.
Setelah turun dari mobil, Dafi langsung berjalan memasuki rumah, dengan langkah kaki yang terkesan lebar-lebar. Meninggalkan Bunda dan Rasya begitu saja di belakang. Padahal, Dafi baru saja pulang, tapi energinya seolah sudah kembali.
"Adek, pelan-pelan!" Bunda menegur.
Rasya yang awalnya sedang membawakan tas berisi beberapa perlengkapan Dafi, langsung mempercepat langkahnya. Dihampirinya Dafi yang masih berdiri di depan pintu---berhubung kunci masih Bunda pegang. "Jangan bertingkah dulu, Dek," bisiknya.
Tempo hari, setelah mendapat kabar bahwa penyakit Dafi kembali kambuh, Bunda adalah salah satu orang yang benar-benar khawatir. Berhari-hari Bunda duduk di sebelah Dafi yang masih belum membuka matanya, membisikkan kata-kata yang mungkin saja putranya itu dengar. Sungguh, Bunda benar-benar hancur ketika menggenggam tangan dingin Dafi.
Hingga kedua manik madu itu kembali terbuka. Menatap Bunda dengan tatapan hangat, meski ringisan sesekali keluar dari bibirnya yang pucat. Tapi, sejak itu pula, Bunda bisa kembali tersenyum. Bisa menatap kedua manik yang dirindukannya itu cukup membuat Bunda merasa bahagia.
Dafi nyengir. Tampak tidak bersalah. Ia menghampiri Bunda, lalu memeluk wanita itu. Bergelayut manja di leher Bunda, Dafi berkata, "kunci mana, Bun?"
Bunda terkekeh geli. Diusapnya surai kecokelatan milik Dafi. "Nih, ambil di tas Bunda," balas Bunda. Dibiarkannya Dafi mengambil sendiri kunci rumah utama, berhubung sebelah tangan Bunda masih membawa kantung berisi makanan yang tadi dibawanya. Sementara tangan sebelahnya melingkar di punggung Dafi.
Entah sejak kapan, cowok itu terus saja bersikap manja. Bunda, sih, santai-santai saja dengan sikapnya. Berhubung selama ini hubungan keduanya memang tidak terlalu dekat, karena Bunda sibuk kerja dan Dafi sibuk dengan kuliahnya. Rasya juga kadang bersikap manja, hanya tidak semanja Dafi.
Begitu menemukan kunci rumah, dengan senang Dafi melenggang menuju pintu. Dibukanya pintu utama rumah tersebut, dan segera saja Dafi masuk ke dalam. Direntangkannya kedua tangan dengan indra penciumannya yang menghirup udara.
"Kangen banget sama rumah!" ucap Dafi.
Rasya tertawa geli. Dihampirinya Dafi, lalu dirangkulnya cowok itu. "Sekarang, ayo istirahat di kamar. Kalau kangen rumah, jangan banyak tingkah dulu. Ingat batasan tubuh lo sendiri. Jangan nakal."
Dafi merotasikan kedua bola matanya. Kesal karena Rasya makin cerewet. Padahal, omongan Rasya itu tidak berguna sama sekali. Sumpah, deh, Dafi bosan dengar ocehan Rasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
Aktuelle LiteraturDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.