Bagian 16

3.3K 376 18
                                    

"Iya, Bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya, Bunda. Cuma nge-TTV doang, kok. Nggak secapek itu." Dafi bersandar di dinding. Kedua netranya menatap Naya yang baru saja keluar dari ruang tindakan. "Iya, nggak capek. Pasiennya cuma dikit. Lagian juga, aku nggak sendirian, kok. Nggak usah khawatir, ah, Bun."

Naya berdiri di hadapan Dafi, bertanya perihal siapa yang ia telepon, hanya dengan gerakan bibir. Tapi, Naya sendiri sudah yakin bahwa yang Dafi telepon adalah bundanya. Yah, sudah jelas, bukan?

"Iya, iya. Nggak lupa makan siang, kok. Nggak lupa minum obat juga. Astaga, Bunda. Nggak nakal aku ini." Dafi tertawa geli sejenak. "Iya, aku juga sayang Bunda. Babay."

Dafi menurunkan ponsel dari telinganya, lalu memutuskan panggilan. Ia tersenyum tipis sejenak dan langsung menegakkan tubuhnya. "Udah diambil semua alatnya?" tanya Dafi. Diperhatikannya semua alat yang Naya bawa.

"Ummm ... tensi ... stetoskop ... termometer ... alat buat saturasi sama nadi ... udah semua," jawab Naya. Ia mengalungkan stetoskop yang dibawanya pada leher Dafi, lalu menarik tangan cowok itu dan memberikan sfigmomanometer raksanya. "Silakan, Pak."

Dafi agak terkejut. Ia ingin memberikan kembali sfigmomanometer dan stetoskop yang Naya berikan, tapi cewek itu malah menghindar dan berjalan menuju ruang rawat. Ditinggalkannya Dafi yang masih berdiri di tempatnya tanpa suara.

"Nay! Kok, gue yang ngetensi?" tanya Dafi tidak terima. Ia mempercepat langkahnya, menyusul Naya.

"Sttt, dua belas pasien doang. Sedikit, kok," ucap Naya. Ia berdiri di depan ruang rawat lima. "Udah, santai aja."

"Sedikit apaan, Nay? Kalau misalnya pakai yang digital, gue masih nggak masalah. Paling baru tiga atau empat pasien, kuping gue udah sakit," eluh Dafi. Ia berusaha memberikan kembali sfigmomanometer dan stetoskopnya.

"Udah, nggak usah ngeluh. Biar jago," balas Naya. Ia tidak lagi mengacuhkan Dafi dan masuk ke dalam. "Pagi, Pak! Ditensi dulu, ya."

Suara Naya terdengar samar-samar di ujung ruangan. Segera saja, Dafi masuk ke dalam setelah mengembuskan napasnya dengan lesu. Yah, rasanya hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang.

●●●

Dafi memasang manset pada lengan atas Bu Fani, pasien terakhirnya yang harus diperiksa tanda-tanda vitalnya pagi ini. Setelah itu, Dafi memasang stetoskop pada telinganya. Meski harus Dafi akui, telinganya terasa agak sakit. Terhitung sejak tadi, sudah sebelas pasien yang diperiksanya.

Perlahan, Dafi meraih pergelangan tangan Bu Fani. Dicarinya denyutan nadi wanita berusia 45 tahun itu di sana. Dan setelah berhasil ditemukan, Dafi segera memompanya, hingga denyutan itu tidak dapat dirasakannya lagi. Sekali lagi, Dafi memompanya, hingga 20 mmHg.

"Nay, sebelumnya berapa, deh?" tanya Dafi. Ia meletakkan diafragma stetoskopnya di lipatan siku Bu Fani, tepatnya di arteri brachialis-nya.

"Normal, kok, 120/80," jawab Naya. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari Bu Fani, berhubung dirinya sedang menghitung frekuensi pernapasannya.

"Walah, normal, ya?" Dafi bergumam pelan. Perlahan, ia membuka katup pengatur tekanan udara sedikit demi sedikit. Didengarkannya secara saksama suara yang terdengar sambil terus memperhatikan posisi raksa. Setelah berhasil mendapatkan tekanan sistol dan diastolnya, Dafi kembali melepaskan stetoskopnya. "Tekanan darahnya 130/90. Ah, nggak tinggi-tinggi banget, sih. Ibu punya riwayat darah tinggi sebelumnya?"

Bu Fani menggeleng pelan. "Biasanya, sih, normal," jawabnya singkat.

"Istirahatnya bagaimana, Bu?" Dafi kembali bertanya. Sebenarnya, ia sedikit penasaran tentang kenaikan tekanan darah Bu Fani. Walaupun tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja, biasanya tekanan darah Bu Fani ada di angka 120/80.

"Ummm, dari tadi sih, emang rasanya nggak bisa tidur. Ngantuk banget padahal. Terus juga, tadi abis jalan ke toilet sama ke koridor sebentar. Itu pengaruh nggak, ya?" ujar Bu Fani.

"Biasanya, sih, kalau kurang istirahat atau abis beraktivitas, tekanan darah bakal agak meningkat. Makanya itu, tekanan darah nggak bakal diperiksa kalau setelah beraktivitas. Biasanya pasien disuruh buat istirahat dulu, sampai sekiranya tenang. Kalau nggak gitu, nanti tekanan darahnya tinggi," jawab Dafi sambil melepaskan manset sfigmomanometer dari lengan Bu Fani.

Suara termometer terdengar. Dafi meraih alat pengukur suhu yang terletak di ketiak Bu Fani tersebut, lalu membaca hasilnya.

"Suhunya 35,7. Dingin, ya, Bu?" Dafi lagi-lagi bertanya. "Saya naikin ya, Bu, selimutnya." Ia menaikkan selimut Bu Fani.

"Makasih, ya, Dek," ucap Bu Fani sambil tersenyum.

Tanpa sadar, Dafi ikut tersenyum. Ia mengangguk pelan. "Iya, Bu, sama-sama. Saya permisi, ya, Bu."

Dafi dan Naya berjalan beriringan keluar ruang rawat. Setelah menutup pintu, Dafi bersandar sejenak. Ia mengalungkan stetoskopnya di leher. "Udah selesai 'kan?" tanyanya. Tangannya mengambil alat pengukur nadi dari kantong seragam Naya, lalu menggunakannya pada jarinya sendiri.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Naya khawatir. Agak-agaknya, ia menyesal karena menyuruh Dafi untuk mengukur tekanan darah seluruh pasien.

"Takikardi, tapi nggak masalah, kok." Dafi membalas. Ia melepaskan alat tersebut dari jarinya. "Kuping gue, nih, yang masalah. Sakit, anjir. Nggak lagi-lagi."

Naya menepuk-nepuk lengan Dafi perlahan. "Yaudah, besok gue, deh, yang bagian ngetensi," ucap Naya pada akhirnya. Diambilnya sfigmomanometer yang ada di tangan Dafi, juga stetoskopnya. "Gue ke ruang tindakan dulu, nyimpen alat. Lo duduk dulu sana di nurse station."

Dafi hanya bergumam pelan, mengiyakan suruhan Naya. Ia duduk di nurse station dan meraih log book yang harus diisi selama masa praktik lapangan. Dibukanya lembar activities daily living, dan Dafi menulis apa saja yang sudah ia lakukan pagi ini.

Tapi, baru saja menulis dua kata, seorang senior yang belum Dafi kenal, menghampirinya, lalu berkata, "Dek, bisa EKG 'kan? EKG, ya. Ada empat pasien yang harus di-EKG hari ini. Bukunya ambil di troli."

"Eh, iya, Kak."

"Sama sekalian, tolong cek bed 188 udah di-verbed atau belum. Kalau belum, tolong verbed sekalian."

Dafi mengerjap beberapa kali. Ia memperhatikan wanita tersebut masuk ke dalam ruang ganti. Lagi-lagi, Dafi mengembuskan napasnya, kali ini lebih lesu dari sebelumnya.

Apa Dafi sudah bilang kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang?

●under the stars●

A/n

Percayalah, aku ngalamin wkwkwk baru duduk sebentar, udah, "DEEEK!" Lumayan, buat cerita-cerita kalau reunian. Atau buat cerita ke anak nantinya wkwkwkwk.

Selamat hari Minggu semuanya! Ciye, yang udah selesai UKK, yang udah leha-leha. Atau besok baru UKK? Wah, semangat selalu!

Sekian banyak part yang aku tik, ini adalah part tersulit. Terutama pas ngukur tensi. Aku bisa, cuma buat ngejelasinnya lagi itu yang njelimet

Ada salah ga sih? Komen ya. Thank youuu

Guys, aku males update kalau responnya gini gini aja. Hargain dong.

Ea. Wkwkwkwkwkwk

Apaan si? Santai sama aku mah. Canda doang, abis baca author's note yang gitu soalnya :(

Under the StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang