"Angin doang," ucap Rasya menenangkan. Alesha sedari tadi sudah mepet ke arah Atha. "Tuh, gue bilang apa? Nggak usah cerita horor gini. Baru pintu kebuka aja udah takut. Gimana kalau---"
Suara teriakan nyaring terdengar. Membuat Rasya berhenti berbicara. Ia menghela napas panjang. "Itu maksud gue. Gimana kalau yang lain?"
"Iya, iya, maaf!" ucap Dafi. Jantungnya berdetak cepat, memberi sensasi nyeri yang cukup menyiksanya. "Nggak cerita aneh-aneh lagi."
Rasya terkekeh pelan. Ia memeluk kedua kakinya yang terlipat di depan dada, lalu bersandar pada sandaran kursi. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit kamar rawat yang putih bersih.
"Dafi itu penakut banget, tapi sok nakutin orang," ejeknya. Ia bangkit. "Kalau gue usir, kalian marah nggak? Mau nyuruh anak ini buat makan dulu biar bisa minum obatnya."
"Oh, nggak apa-apa, kok. Ini kita juga mau balik ke nurse station," sahut Atha. Ia menarik tangan Alesha. "Yuk, Sha. Sebelum ada yang aneh-aneh lagi, kita balik." Atha dan Alesha langsung berjalan ke luar kamar rawat, meninggalkan Dafi yang duduk di atas bed-nya. Sementara itu, Rasya sudah memegang nampan berisi makanan mikik Dafi.
"Mau gue suapin atau mau makan sendiri?" tanya Rasya.
"Nggak mood. Rasanya mual banget," balas Dafi. Ia menggeleng cepat, lalu menaikkan selimutnya sampai sebatas dada. "Buat lo aja, Kak. Gue makannya nanti aja."
"Daf ...." Rasya menghela napas lelah. Ia tidak suka jika Dafi mulai seenaknya begini. "Obat lo harus diminum setelah makan. Gimana caranya lo minum obat kalau nggak makan?"
Dafi menggerung kesal. Terpaksa, ia menurunkan kembali selimutnya. "Suapin, ya," pinta Dafi.
Rasya tertawa geli. Ia mengambil tempat di sebelah Dafi. "Tumben manja," ejeknya. Ia menyendokkan sedikit nasi dengan sayurnya. "Biasanya, lo paling nggak mau kalau disuapin gini."
Dafi mengerucutkan bibirnya. Ia menerima sesendok nasi dengan sayur yang Rasya sodorkan. "Tangan gue lemas banget rasanya," balas Dafi setelah menelan makanannya, "gimana kalau stroke, ya? Gue jadi takut. Kalau suatu hari, gue kena juga, gimana?"
Rasya meletakkan sendoknya di atas nampan, lalu menjitak kepala Dafi. "Nggak usah ngomong aneh-aneh. Lo nggak bakal kena penyakit komplikasi kayak gitu!" omel Rasya. Lalu, ia mengaduk nasi dengan asal. "Gue nggak suka kalau dengar lo ngomong yang nyeremin gitu. Mending gue lihat setan, deh."
"Jangan ngomong gitu, nanti beneran muncul. Lo mau bikin gue serangan jantung, hah?!"
Rasya tertawa. Ia kembali menyendokkan nasi. "Tanpa lo sadari juga, emang udah muncul." Rasya berujar. Diletakkannya nampan itu ke atas meja. "Nih, makan sendiri dulu. Gue mau ke toilet. Kebelet banget."
"Kak!" Dafi meraih tangan Rasya. "Mau ikut."
Kali ini, Rasya benar-benar terbahak. Sampai-sampai, kedua bahunya bergetar hebat. "Dek, apaan, sih?" Rasya berujar di sela tawanya. "Jangan takutan begini, kali. Dari kemaren lo sendirian juga nggak masalah 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.