Dafian Narendra hanyalah seorang anak biasa. Ia punya banyak impian yang ingin dicapainya suatu hari nanti. Tapi, satu jawaban yang selalu dicetuskan Dafi saat ditanya cita-citanya adalah; aku mau jadi kayak Bunda!
Dengan senyum indah dan binar mata yang cemerlang, Dafi menghampiri Bunda yang ada di dapur. Dipeluknya tubuh wanita yang sudah melahirkannya lima tahun lalu itu dari belakang. Perlahan, Dafi memegang lengan Bunda.
"Bundaaa! Kak Rasya kapan pulang?" Dafi bertanya manja. "Aku mau main! Mau main!"
Saat ini, Dafi benar-benar bosan. Bermain di kamar sendirian benar-benar tidak menyenangkan. Hal itu dikarenakan Rasya, kembarannya, masih berada di sekolah. Kemungkinan, masih satu jam lagi Rasya pulang.
Bunda yang awalnya sedang mencuci piring langsung mematikan keran air. Ia membalik tubuhnya, hingga Dafi melepas pelukannya. Dengan senyum di bibirnya, Bunda berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang putra.
"Bosan, Buuun!" Dafi mengerucutkan bibirnya. "Kak Rasya lama banget pulangnya."
Bunda terkekeh geli. Diusapnya surai Dafi perlahan. "Kak Rasya masih sekolah. Main sama Bunda mau?" tanya Bunda. Ia menggendong Dafi. "Mau main apa? Eh, tapi udah jam setengah satu. Udah salat belum?
Dafi mengangguk cepat. "Udah! Liat rambut aku, Bun." Dafi mengusap rambutnya sendiri. "Tuh, masih basah."
"Pintar, anak Bunda," balas Bunda. Ia mengusap dada Dafi perlahan. "Oke, kalau gitu, kita makan dulu, ya. Terus minum obatnya. Baru kita main. Adek mau main apa?"
"Ngeng, ngeng!" Tangan Dafi berputar, seolah sedang mengendarai mobil. "Mobil Kak Rasya! Yang merah."
Bunda menarik bangku, lalu mendudukkan Dafi di sana. "Itu 'kan punya Kak Rasya. Nanti dimarahin, loh," ucap Bunda. Senyum geli tercetak jelas di bibirnya.
Dafi mengangkat jari telunjuknya, lalu menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri seraya menggeleng pelan. "Enggak, Kak Rasya itu baik sama aku. Kata Kak Rasya, aku boleh mainin mobilnya kalau enggak sakit. Sekarang 'kan aku sehat banget!"
Bunda tersenyum getir. Putranya yang satu ini memang memiliki kekurangan di tubuhnya. Hal itu yang membuatnya tidak dapat bersikap seperti anak pada umumnya. Bunda harus ekstra berhati-hati dalam membesarkan Dafi.
Bunda mengusap surai Dafi perlahan. "Iya, nanti kita main mobil-mobilan, ya. Sekarang, Bunda ambil makan dulu buat Adek. Hari ini Bunda masak sup jagung kesukaan Adek, loh."
Dafi bertepuk tangan dan tertawa pelan. "Sup jagung! Aku suka sup jagung!"
"Bunda juga suka sup jagung." Bunda menimpali. Ia berjalan menuju lemari piring, lalu mengambil mangkuk berwarna biru dari dalam sana. Secepat mungkin, Bunda menuangkan sup jagung ke dalam mangkuk itu. Tidak lupa pula Bunda mengambil segelas air.
"Ayo, kita makan dulu." Bunda kembali menghampiri Dafi dan meletakkan semangkuk sup jagung dan segelas air di atas meja. "Adek bisa makan sendiri 'kan?"
"Bisa dong! Aku 'kan udah gede," balas Dafi semangat. Ia mengambil sendok, lalu mulai menyuapkan sesendok sup jagung.
"Makan yang banyak, ya, Nak." Bunda bergumam lirih. Kedua manik yang berbinar lembut itu mulai menerawang.
Dulu, mungkin Bunda masih tidak bisa menerima kehadiran Dafi dan Rasya. Dulu, Bunda masih menganggap bahwa kehidupannya dihancurkan oleh kedua buah hatinya tersebut. Tapi, lama kelamaan Bunda seolah menyadari bahwa keduanya adalah anugerah. Saat mendengar tangis pertama keduanya yang terdengar lemah, ada kehangatan yang menyusup memasuki dadanya. Entah kenapa, Bunda merasa bahagia. Walau Bunda harus mengambil cuti kuliah hingga menyebabkan dirinya lulus lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
Ficção GeralDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.