Bagian 32

2.8K 360 9
                                    

Dafi tidak pernah menyangka, ketika ia sedang berbaring di kamarnya, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dafi tidak pernah menyangka, ketika ia sedang berbaring di kamarnya, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ada satu pesan yang diterima ponselnya. Isinya singkat, dan pesan itu mampu membuat senyum Dafi merekah.

Daf, Aldrin sadar.

Sepertinya, keputusan Dafi untuk menolak donor organ dari Aldrin adalah pilihan yang tepat. Siapa sangka bahwa keajaiban itu akan menghampiri sahabatnya? Di saat para tim medis mengira bahwa Aldrin tidak akan pernah bangun, cowok itu membuktikan bahwa mereka salah.

Segera saja, Dafi bangkit. Ia berjalan dengan cepat ke kamar Bunda. Seperti biasa, Dafi langsung masuk tanpa mengetuk, lalu berbaring di sebelah Bunda. Senyum tidak juga luntur dari bibirnya.

"Adek kenapa senang banget gitu?" tanya Bunda heran. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas. Diusapnya puncak kepala Dafi.

"Bunda udah dengar kabar kalau Aldrin udah sadar?" Dafi malah balas bertanya. "Tuh 'kan. Benar apa kata aku. Aldrin itu kuat. Dia pasti bisa sadar. Nggak nyesal kemaren nolak operasi. Kalau aku nggak nolak, mungkin aja aku udah nggak bisa ketemu Aldrin lagi. Iya 'kan, Bun?"

Bunda mengangguk pelan. Meski sejujurnya, ia tidak sepenuhnya senang. Lagi-lagi kesempatan sang putra untuk dapat hidup normal, menjauh. Dafi mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan itu lagi dalam waktu dekat.

"Aku senang banget tahu, Bun, pas dengar kabar itu," sambung Dafi. Ia membaringkan kepalanya di paha Bunda. Dari sini, Dafi dapat menatap Bunda sepuasnya. "Aku senang dapat kabar kalau sahabat---yang bahkan udah aku anggap kakak aku, baik-baik aja."

Bunda mengelus rambut kecokelatan Dafi. Ia menunduk, balas menatap manik madu itu. Senyumnya tampak menenangkan. Meski baru saja kehilangan kesempatan emas, Dafi tampak baik-baik saja.

"Kamu nggak menyesal?" Bunda bertanya.

Dafi menggeleng. Tatapan matanya yang polos tampak dipenuhi oleh tanda tanya. "Kenapa aku harus menyesal? Aku senang karena Aldrin bisa bangun lagi. Bunda tahu 'kan kalau mimpi Aldrin itu masih banyak? Aku senang, karena dia bangun, dia bisa nerusin usaha buat ngeraih mimpinya."

"Kamu juga punya mimpi 'kan?" ucap Bunda lirih, "Bunda juga senang pas dengar Aldrin sadar, Dek. Tapi, Bunda jadi kepikiran kamu. Andai kamu nerima donor organ itu, kamu mungkin bisa hidup kayak anak lainnya. Bunda menghargai keputusan kamu, gimanapun juga, itu semua ada di tangan kamu. Bunda cuma nggak habis pikir."

Dafi tersentak begitu mendengar ucapan Bunda. Usianya saat ini memang sudah sembilan belas tahun. Ia sudah cukup dewasa untuk menentukan keputusannya sendiri. Hanya saja, Dafi tidak tahu kalau Bunda tidak menyukai keputusannya tersebut.

"Aku udah mikir matang-matang, Bun. Ini yang terbaik," jawab Dafi, "aku tentu punya banyak mimpi. Aku pengin bisa hidup sampai nanti. Pengin bahagiain Bunda dulu, pengin bahagiain Ayah juga. Pengin ngebeliin Kak Rasya gantungan kunci singa yang selalu dia minta. Banyak yang pengin aku lakuin.

"Tapi, Bun, aku ngerasa nggak pantas kalau aku ngambil kehidupan orang yang juga sama-sama punya mimpi. Rasanya, nggak etis aja ketika jantungnya Aldrin berdetak di dalam tubuh aku, sementara Aldrin sendiri nggak akan pernah bisa merasakan detakannya lagi. Aku nggak suka."

Dafi memejamkan matanya sejenak. Ia menarik napas panjang. Meski berat, tapi Dafi selalu yakin bahwa keputusannya sudah sangat tepat. Sekaligus, meyakini bahwa ke depannya, masih banyak kesempatan yang sama. Tuhan mungkin saja sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik lagi.

"Bunda bahagia kalau ngeliat kamu bisa hidup normal, Dek," cetus Bunda.

"Aku nggak bisa bahagia kalau hidup normal, tapi sahabat aku sendiri nggak bernyawa karena nyerahin hidupnya buat aku."

Bunda berdecak pelan. Disentilnya kening Dafi perlahan. "Nggak usah berlebihan. Saat itu, semuanya nggak ada yang ngira kalau Aldrin bisa bangun. Mati batang otak loh. Kondisinya sendiri mengkhawatirkan, Dek. Untung jantungnya masih bagus, kamu beruntung, tapi kamu nolak."

"Udah aku bilang, Bun. Aku nggak menyesal." Dafi bangkit. Senyumnya lebar, yang mampu membuat hati Bunda menghangat. Putranya ini memang benar-benar anak yang baik. Tapi, kenapa Tuhan seolah enggan memberikan sedikit kebahagiaan padanya?

"Andai Bunda nggak ngasih tahu kalau yang jadi pendonor adalah Aldrin, mungkin aku bakal nerima dengan senang hati." Dafi terkekeh pelan. "Tapi, Bunda malah ngasih tahu. Tapi bagus, Bun. Aku jadi nggak perlu ngerasa bersalah."

"Bunda jadi nyesel ngasih tahu kamu," celetuk Bunda, "seharusnya, Bunda rahasiain aja pas itu."

"Bunda mau ngebuat aku hidup dengan rasa bersalah?"

Bunda menggeleng pelan. "Tentu aja enggak. Bunda mau kamu hidup dengan bahagia. Makanya itu, Bunda hargai keputusan kamu. Itu yang terbaik, Bunda tahu."

●●●

Aldrin tidak dapat mengungkapkan rasa bahagianya ketika Resa, mamanya, dan Adrian, papanya, berada di satu ruangan yang sama, tanpa beradu mulut. Bahkan, kakak dan adiknya juga berada di sana. Rasanya, seperti dalam mimpi, ketika Resa tampak begitu perhatian padanya.

Tidak banyak yang dapat Aldrin ingat. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya menabrak mobil yang berada di depannya. Setelah itu, rasa sakit seolah menghancurkan tubuhnya. Kini, meski masih tergolek lemah di atas bed, Aldrin bisa tersenyum kembali karena kehadiran keluarga lengkapnya.

"Mama bersyukur banget kamu bisa bangun, Drin," ucap Resa sekali lagi. Diraihnya tangan Aldrin yang tidak terpasang jarum infus, kemudian dikecupnya perlahan. "Mama takut kehilangan kamu."

"Maaf, Ma," gumam Aldrin lirih. Ia memejamkan matanya sejenak. Kehangatan sentuhan Resa adalah hal yang selalu disukainya. "Makasih karena Mama mau nunggu Aldrin bangun."

"Mama yakin kamu bisa bangun, makanya Mama nggak bisa setuju pas kamu berniat mendonorkan organ kamu gitu aja. Mama yakin kamu masiu punya kesempatan, meski banyak orang bilang kalau harapan kamu bisa sadar kembali itu kecil," sambung Resa.

Aldrin terhenyak sesaat. Ia jadi ingat bahwa dirinya pernah mendaftarkan diri sebagai pendonor organ. "Buat siapa emang, Ma?" tanya Aldrin penasaran.

"Buat teman kamu itu," jawab Resa, "tapi Mama nggak setuju. Mama nggak mau kehilangan kamu gitu aja."

Tunggu sebentar.

Kalau ternyata penerima organnya adalah Dafi, berarti Aldrin memiliki kesempatan untuk membuat sahabatnya itu dapat hidup normal. Itu adalah salah satu tujuannya.

Tapi, nyatanya Resa tidak setuju. Aldrin dapat terbangun kembali. Dan entah kenapa, Aldrin tidak menyukai fakta tersebut.

●under the stars●

A/n

Maaf, Guys. Ternyata, semester ini aku nggak dapat libur sama sekali. Psikologi, sosiologi, dan transkultural menunggu :D maaf kalau nggak bisa cepat, tapi aku akan usahain semuanya.

Btw, sori aku ga balas komen kamu di part sebelumnya. Tapi, aku baca kok. Makasih atas komen komennya :)

Under the StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang