"Adek, Adek, Kakak bawa permen beruang kesukaan Adek!" Rasya berlari masuk ke dalam ruang rawat. Setelahnya, ia mencoba naik ke atas bed, sebelum akhirnya berhasil duduk di sebelah Dafi. Sementara itu, Bunda yang sedari tadi berjalan di belakang Rasya hanya terkekeh geli.
Keduanya saat ini menggunakan jaket yang sama. Sama-sama berbentuk beruang menggemaskan. Ditambah lagi, keduanya memiliki gaya rambut yang sama.
Sayangnya, kondisi mereka berdua tidak sama. Wajah Dafi tampak pucat. Dengan nasal kanul yang terpasang di hidungnya, serta tangannya yang diinfus dan dibidai sedemikian rupa. Sorot matanya tampak redup. Sebaliknya, Rasya tampak semangat siang hari ini. Senyum secerah matahari itu terus saja tersungging di bibir merah mudanya.
Dafi yang bersandar di bed lantas tersenyum. Tangannya terangkat, namun hanya sesaat. Sejak beberapa hari ini, Dafi tidak nafsu makan. Apalagi, ia tidak begitu menyukai makanan rumah sakit. Makanan yang Bunda sodorkan selalu ditolaknya. Kalaupun mau, paling hanya dua sampai tiga sendok. Sisanya, Dafi akan merajuk, berkata bahwa makanan rumah sakit tidak ada enaknya sama sekali.
"Mau permen beruang," ucap Dafi pelan. Bibirnya yang pucat dan kering itu tampak mengulas senyum tipis. Tidak seperti biasanya, suara Dafi terdengar lemah. Rasya jadi tidak suka mendengarnya.
"Kata Bunda, Adek nggak mau makan. Jadi, Kakak nggak mau ngasih permen beruangnya." Rasya memperingati. Ia menatap Dafi. Wajah adiknya itu tampak terkejut dilanjut dengan sorot kekecewaan.
"Makanannya nggak enak. Aku mau makan kentang yang Bunda buat. Aku nggak mau makan makanan di sini. Nggak enak!" Suara Dafi meninggi. "Mau pulang! Mau pulang! Aku mau pulang!"
Entah mendapat kekuatan dari mana, Dafi mulai berteriak. Kakinya bergerak sembarangan hingga seprainya berantakan. Kedua bola mata madunya tampak mulai tergenangi cairan.
"Adek ...." Rasya meraih Dafi, lalu memeluknya dengan hati-hati. "Tenang, Dek. Nanti, Adek sakit lagi."
Dafi diam. Napasnya terasa berat, memaksa Dafi kembali diam dan bersandar. Kepalanya untuk sejenak disandarkan pada pundak Rasya.
"Mau pulang, Kak," lirih Dafi. Ia membiarkan dirinya dalam rengkuhan kakak kembarnya. Hangat. Rengkuhan itu yang sejak dulu selalu menjadi kesukaan Dafi.
"Iya, pulang. Tapi, Adek 'kan belum sembuh." Rasya membalas. Ia melepaskan rengkuhannya, lalu meraih pundak Dafi. Ditatapnya wajah itu. "Makanya itu, Adek harus cepat sembuh. Biar bisa pulang, terus main sama Kakak di rumah."
Kalimat itu selalu Rasya ucapkan. Tapi, setelahnya pula, Dafi selalu mengangguk senang. Nyatanya, kalimat sederhana itu yang mampu membuat Dafi terus bertahan.
•••
Dafi tidak bisa tidur sama sekali. Napasnya terasa tidak nyaman, hingga ia beberapa kali mengubah posisinya. Kepalanya menoleh, menatap Bunda yang tidur di atas sofa.
"Bunda ..." panggil Dafi. Bunda tidak juga merespon. "Bunda ... bangun!" Dafi mengeraskan suaranya. Bukan hanya itu, tubuhnya ditegakkan.
"Bunda! Bundaaa! Bangun, Bundaaa!"
Mendengar teriakan Dafi, Bunda lantas membuka matanya dengan cepat. Tanpa aba-aba, Bunda bangkit dari sofa dan menghampiri Dafi. "Ada apa, Sayang?" tanya Bunda khawatir. Ia melirik arlojinya. Pukul dua belas malam.
Dafi memukul dadanya perlahan. "Sakit. Nggak enak. Aku nggak suka!" keluhnya. Kemudian, kedua tangannya direntangkan. "Peluk, Bunda."
Bunda ikut merasa sedih. Ia memeluk Dafi, mengusap punggungnya perlahan. Rasanya, Bunda ingin melakukan apapun agar seluruh rasa sakit yang Dafi rasakan dapat dipindahkan ke dirinya.
"Iya, iya. Bunda puk-puk, ya." Bunda menepuk-nepuk punggung Dafi perlahan. "Adek, tidur. Biar sakitnya nggak terasa."
Dafi mengerucutkan bibirnya saat Bunda memaksa Dafi untuk kembali berbaring. Tapi, senyumnya mengembang saat melihat Bunda ikut duduk di sebelahnya. "Bunda mau bobo di sini sama aku?" tanya Dafi senang.
"Tapi, jangan bilang ke dokter, ya," jawab Bunda. Ia membiarkan kepala Dafi bersandar di dadanya. Diusapnya surai Dafi perlahan, berusaha untuk membuat Dafi tenang. "Adek bobo, ya. Biar kondisi Adek membaik. Biar bisa pulang. Katanya, mau main sama Kak Rasya."
Dafi mengangguk pelan. "Aku pasti sembuh 'kan, Bun?" tanya Dafi polos.
Bunda menggigit bibir bawahnya sejenak. Ia tidak diperbolehkan untuk memberikan harapan yang berlebihan ketika berhadapan dengan pasiennya. Tapi, yang bertanya barusan adalah buah hatinya sendiri.
"Bisa 'kan, Bun?"
Awalnya, lidah Bunda terasa kelu. Tapi setelahnya, ia mengangguk dengan senyum di bibirnya. "Pasti bisa, Sayang. Kita berjuang sama-sama, ya. Bunda sayang Adek."
Seraya memejamkan matanya perlahan, Dafi tersenyum. "Aku juga sayaaang sama Bunda."
☆☆☆
A/n
Akhirnya kita berakhir di sini huhuuu
Ini adalah rahasia, tapi Dafi seharusnya pake NGT di sini. Tapi, aku ga mau. Ga tega :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.