"Ada pasien baru, pindahan dari ICCU. Coba cek kamar satu, Dek, udah di-verbed atau belum."
Naya menganggukkan kepalanya mengerti. Ia bangkit dari kursi yang ada di depan meja nurse station, setelah sebelumnya menutup log book-nya. Kedua kakinya melangkah menuju kamarsatu. Meski sebenarnya, Naya malas. Dua hari ini, ia harus dinas sendirian karena Dafi belum terdengar kabarnya.
Tangan Naya membuka pintu ruang satu. Kamar paling besar dengan fasilitas paling lengkap di ruang kardiologi. Matanya agak menyipit saat melihat bed yang berada di tengah ruangan. Seprai sudah rapi. Hanya kurang selimut dan sarung bantal. Segera saja, Naya melenggang menuju tempat penyimpanan linen. Senang karena tugasnya tidak begitu berat. Paling hanya harus memeriksa tanda-tanda vital saat pasien baru itu datang, juga mengecek EKG. Tidak sulit.
Selimut warna hijau dan sebuah sarung bantal dengan logo rumah sakit di pinggirnya sudah ada di genggaman Naya. Ia memasang sarung bantal itu, lalu melipat selimut, sesuai dengan yang sudah diajarkan oleh dosennya. Diusapnya permukaan bed tersebut dengan senang.
Hari ini, tidak terlalu banyak tindakan yang harus Naya lakukan. Pasien juga sedari tadi tenang. Jadi, ia bisa menyelesaikan tugasnya. Paling, hanya sesekali Naya bolak-balik ke ruang edukasi untuk memfoto status pasien yang diambilnya.
Hingga tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Naya langsung berjalan menuju depan meja nurse station. Sebuah bed terlihat, memasuki ruangan. Dua orang perawat yang bertugas di ruang ICCU tampak mendorong bed tersebut. Segera saja, Naya menghampirinya.
Tetapi, setelah itu, tubuh Naya membeku. Kedua kelopaknya melebar saat melihat siapa yang terbaring di atas bed. Dunia seolah berhenti berrotasi. Naya hendak menjawab ucapan perawat ICCU tersebut, tapi lidahnya kelu. Netranya terus memperhatikan Dafi yang tampak lemah dengan nasal kanul di hidungnya. Tapi, tidak lupa cowok itu tersenyum. Walau sesekali tampak memejamkan matanya.
"Dek? Bed mana yang udah disiapin?" tanya perawat tersebut sekali lagi.
"Kamar satu, Kak. Bed 141," jawab Naya pada akhirnya.
Bed didorong masuk ke kamar satu. Naya hendak membantu, tapi Bu Vina malah memanggilnya menyuruhnya untuk mengecek tanda-tanda vital dan juga EKG. Segera saja, Naya masuk ke kamar tindakan. Diambilnya peralatan untuk mengecek tanda-tanda vital.
Ini bukan pertama kalinya Naya melihat Dafi tidak berdaya seperti itu. Seingatnya, saat praktikum KMB beberapa minggu yang lalu, Dafi pernah tumbang di hadapannya. Hanya saja, baru kali ini Naya benar-benar memperhatikan Dafi.
Wajahnya yang tampak pucat, manik madunya yang menatap Naya dengan sayu, namun tetap hangat. Jangan lupakan senyum itu. Senyum yang sangat berarti bagi banyak orang. Karena senyum itu lah yang paling dinanti.
"Dek, itu tadi Dafi 'kan?" Suara Kak Bintang terdengar, membuat Naya yang hendak masuk ke kamar satu berhenti berjalan. "Aduh, kayaknya ini beneran gara-gara gue."
Naya tidak bisa menjawab. Kedua netranya hanya memperhatikan wajah Kak Bintang yang tampak menyesal. Dan tanpa suara, Naya masuk ke kamar satu.
"Oi, Nay," sapa Dafi, begitu melihat keberadaan Naya, "apa kabar?"
●●●
Dafi tidak pernah suka terlihat lemah. Apalagi di depan teman-temannya. Termasuk Naya, Dafi makin tidak suka. Tapi sayang, Naya sedang berdinas di ruang kardiologi. Satu hal yang pasti saat ia akan dipindahkan, adalah bertemu dengan Naya.
Sejak sadar satu hari yang lalu, setiap orang yang Dafi temui pasti menunjukkan raut wajah penuh kesedihan. Terutama Ayah dan Bunda. Bisa Dafi tebak, keduanya mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dan barusan, saat bed-nya didorong memasuki ruang kardiologi, Dafi mendapati raut yang sama pada wajah Naya.
"Apa kabar?" tanya Dafi, begitu ia melihat Naya memasuki kamar rawat. Senyumnya terbit, meski tampak lemah. "Maaf, ya, gue nggak bisa dinas dulu. Lo mau ngapain? Ngecek TTV, ya?"
"Bukannya seharusnya gue yang nanya kabar lo?" Naya berdiri di samping bed Dafi. "Gimana kabar lo sekarang?"
Dafi tersenyum lebar. "As you see, gue baik," jawabnya singkat. Dinaikkannya lengan kaos yang digunakannya.
Naya balas tersenyum. Ia melilitkan manset sfigmomanometer di lengan atas Dafi. "Gue kesepian dari kemarin karena harus dinas sendiri," ucap Naya. Suaranya terdengar lirih, membuat Dafi tidak enak hati.
"Maaf, ya," ujar Dafi pelan. Ia meringis sesaat. "Tensi gue tinggi lagi, ya?"
"Kalau gue bilang lumayan, gimana?" balas Naya.
"Nggak apa-apa. Udah biasa juga." Dafi berucap pelan. Ia menyodorkan jemarinya saat Naya mengeluarkan pulse oxymeter. "Ribet, ya, kalau harus sendirian?"
Naya mengangguk pelan. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya. "Mau gimana lagi?" Naya membalas. Ia mencatat hasil yang terlihat di pulse oxymeter tersebut. "Masih sesak, ya? Saturasi lo lumayan rendah, nih."
"Udah nggak begitu," jawab Dafi singkat. Ia benar-benar tidak suka situasi seperti ini. Tampak lemah itu selalu menjadi hal yang menyebalkan. "Makasih."
Naya tersenyum lembut. Ia meletakkan termometer di ketiak Dafi. "Hei, itu udah jadi tugas gue 'kan?" Naya terkekeh geli. "Untuk hari ini, sih. Nggak tiap hari gue bisa jadi perawat lo."
"Wah, senangnya," celetuk Dafi. "jarang-jarang gue dapat perawat yang muda, baik, dan cantik kayak lo."
Naya mendengkus pelan. Ia mengambil termometer yang sudah berbunyi. "Dingin nggak di sini?"
"Nggak begitu."
"Yaudah, gue balik ke nurse station."
"Loh, gue nggak di-EKG?"
Naya menggeleng cepat. Ia merapikan peralatannya dan berjalan ke luar kamar, meninggalkan Dafi yang masih senyam-senyum sendiri.
Yah, mungkin saja, keharusannya untuk dirawat di rumah sakit kali ini tidak terlalu buruk.
●under the stars●
A/n
Hayo, siapa yang ngechat?
Anaknya protes wkwkwk
Btw, demi apapun, aku ga bisa kirim gambar masa wkwk padahal mau ngirimin screenshot-nya :(
Yodah, untuk yang nge-chat, selamat menikmati kepesimisan Dafi yang aku sendiri juga udah lelah ngadepinnya wkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.