"Tuh 'kan, Adek jadi demam."
Bunda menyentuh kening Dafi dengan punggung tangannya, sementara Dafi hanya diam di balik selimut. Ia memejamkan kelopaknya erat saat merasakan panas di kedua bola matanya. Perlahan, Dafi mendekatkan tubuhnya pada tubuh Bunda yang duduk di sisi tempat tidur.
"Terus, gimana ini? Kuat kuliah nggak?" tanya Bunda. Ia mengusap surai kecokelatan milik Dafi. "Istirahat dulu, ya, Dek. Biar Bunda yang izinin ke dosen kamu. Hari ini matkulnya apa aja?"
"Anak doang, Bun," jawab Dafi lirih. Kedua tangannya memeluk pinggang Bunda. "Sama Jiwa, sih. Tapi Jiwa tugas mandiri doang. Nanti, aku yang bilang ke siepennya."
Bunda menganggukkan kepalanya mengerti. Ia mengambil termometer yang ada di laci nakas. Dinyalakannya benda yang berguna untuk mengukur suhu itu, lalu diletakkan di ketiak Dafi.
"Makanya, jangan hujan-hujanan. Kamu 'kan rentan sama dingin. Jadinya sakit gini," omel Bunda, "Bunda nggak mau lihat kamu sakit, Dek. Jangan kebanyakan tingkah, Bunda nggak suka."
"Maaf, Bun," lirih Dafi. Ia membuka matanya yang berair, dan menatap Bunda. "Nggak bakal aku ulangin lagi. Aku janji, nggak bakal nakal lagi." Dafi berusaha tersenyum, meski kepalanya terasa pening.
"Maafin aku, ya, Bun."
Bunda menghela napas. Ia tidak pernah bisa marah dengan putranya tersebut. "Bunda maafin kamu, tapi jangan diulangin lagi, ya?"
"Iya, aku nggak akan ngulangin lagi." Dafi mengambil termometer yang berbunyi beberapa kali dari ketiaknya. Ditatapnya hasil pengukuran suhu tubuhnya barusan. Dan dengan cepat, Dafi mematikannya. "Tapi, Bun, aku bahagia semalam. Akhirnya, aku bisa ngerasain rasanya hujan-hujanan."
"Tunggu sebentar. Tadi, berapa suhu Adek?" tanya Bunda, mengalihkan pembicaraan, "kenapa malah dimatiin dulu? Bunda belum lihat 'kan?"
Dafi meletakkan kembali termometer itu di dalam laci nakas. "Nggak tinggi kok, Bun," balas Dafi. Ia mengalihkan pandangannya, enggan menatap Bunda yang masih duduk di sebelahnya.
"Berapa?"
Dafi nyengir sejenak. "Cuma 38,5 derajat, kok," jawab Dafi pada akhirnya. Ia tidak bisa menutupi apapun dari Bunda. Lagipula, kalaupun Dafi bohong, Bunda pasti mengetahuinya. Apalagi, kalau Dafi berkata suhunya normal.
"Nggak ada keluar malam lagi setelah ini. Apalagi sampai hujan-hujanan," cetus Bunda. Kedua lengannya terlipat di depan dada. "Kamu itu gampang sakit, Dafi. Apalagi kalau dingin-dinginan. Bunda nggak habis pikir kenapa semalam kamu malah hujan-hujanan. Kakak kamu juga. Kenapa adeknya sendiri nggak dijaga?"
Dafi membeku di tempatnya. Lidahnya terasa kelu. Ia tidak bisa membalas ucapan Bunda sama sekali. Bahkan, untuk mengklarifikasi bahwa Rasya tidak salah saja tidak bisa. Ditambah lagi, barusan Bunda memanggil Dafi dengan namanya, bukan dengan sebutan 'Adek' lagi. Hal itu menunjukkan kalau Bunda benar-benar marah karena kelakuan Dafi.
"Maaf," gumam Dafi.
Bunda menghela napas lelah. Diusapnya surai kecokelatan putranya tersebut. Suara Dafi terdengar lirih, lagi-lagi membuat Bunda tidak bisa marah. Yah, mana bisa Bunda marah kalau wajah anak kesayangannya itu tampak memelas? Ditambah lagi, manik madunya tampak bersinar lembut dan suaranya terdengar lirih.
"Jangan gitu lagi, ya." Bunda berucap lirih. "Bunda nggak suka lihat kamu sakit kayak gini."
"Iya, Bunda."
●●●
Rasya menyesal karena semalam tidak bisa bertindak lebih tegas lagi. Seharusnya, Rasya bisa menahan Dafi agar cowok itu tetap menunggu di pintu utama pusat perbelanjaan. Dengan begitu, mungkin saja, Dafi tidak akan sakit pagi ini.
Sejak tadi, Rasya berdiri di ambang pintu, memperhatikan Bunda mengomeli Dafi, sambil sesekali menyebut dirinya. Rasanya, Rasya seperti kakak yang tidak bertanggung jawab. Membiarkan adiknya sendiri sampai sakit seperti ini menunjukkan kalau Rasya bukanlah kakak yang baik.
"Bunda nggak mau dengar lagi kamu keluar malam-malam. Nggak ada lagi acara kayak gitu setelah ini. Pulang kuliah langsung pulang." Suara Bunda kembali terdengar. Rasya lantas menunduk dalam.
"Kakak, sini," panggil Bunda tiba-tiba.
Rasya langsung menghampiri Bunda dan Dafi. Ia berdiri di hadapan Bunda. Kedua tangannya saling menggenggam.
"Ingat, ya, Kak. Bunda nggak mau dengar lagi masalah kayak gini." Bunda bangkit. "Kamu kuliah jam berapa hari ini?"
"Jam sembilan, Bun."
"Jagain dulu adeknya. Bunda mau ngerebus air dulu buat ngompres Adek," titah Bunda cepat. Ia berjalan ke luar kamar, meninggalkan Rasya yang masih berdiri membeku di tempatnya, dan Dafi yang masih diam saja di tempat tidur.
"Kak, maaf." Hingga pada akhirnya, Dafi buka suara. "Gara-gara gue, lo jadi dimarahin Bunda. Padahal, lo nggak salah apa-apa. Gue yang salah."
Rasya duduk di sebelah Dafi dan mengusap wajahnya. Ia tersenyum hangat. "Apaan, sih? Nggak usah nyalahin diri sendiri. Gue juga salah," balas Rasya dengan kekehan geli yang secara spontan keluar dari bibirnya. Ia memegang kening Dafi. "Panas banget. Butuh apa sekarang? Lo kedinginan nggak? Butuh selimut tambahan? Kalau butuh---"
"Nggak, gue nggak butuh apa-apa," potong Dafi, "lo di sini aja, ya. Jangan ke mana-mana. Temenin gue."
"Butuh tangan?"
"Boleh gue gigitin nggak?"
Rasya lantas memukul puncak kepala Dafi perlahan. "Ngaco."
Dafi tertawa singkat. "Lo di sini aja juga udah cukup, kok," ucap Dafi. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh Rasya. "Mau dipuk-puk."
Mendengar nada suara Dafi yang terdengar manja, Rasya lantas tertawa geli. Ia menepuk punggung Dafi perlahan, sesuai dengan keinginannya.
"Istirahat, ya, Dek."
●under the stars●
A/n
Alo! Aku lagi di kampus, persiapan edu fair. Siapa tahu besok ada yang datang juga ke kampus aku wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
Ficción GeneralDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.