Kalau dibilang menginginkan kesembuhan, Dafi pasti menginginkan satu hal itu. Ia ingin hidup layaknya orang lain. Tanpa beban, tanpa harus dihantui rasa takut akan penyakitnya yang makin hari makin memburuk.
Dafi tahu, transplantasi tidak sepenuhnya menyembuhkan. Dafi masih harus berjuang untuk menghadapi risiko penolakan tubuhnya sendiri. Ia masih harus berurusan dengan obat-obatan. Ditambah dengan hal buruk lainnya.
Tapi tetap saja, memiliki jantung yang sehat masih menjadi impian tertinggi yang Dafi punya. Memiliki sesuatu yang sama seperti milik orang lain. Sesuatu yang dapat membuatnya berpikir bahwa ia sama seperti yang lainnya.
Sederhana, namun tidak sesederhana itu. Pendonor memang banyak, tapi untuk kecocokan organ dengan tubuh Dafi, kadang hal itu yang menghambat. Membuat Dafi harus menunggu bertahun-tahun lamanya.
Kini, keajaiban itu muncul. Sayangnya, keajaiban itu dihadirkan oleh sahabatnya sendiri. Dan Dafi tidak mungkin mengambil kehidupan sahabatnya.
Setelah kondisinya membaik, Dafi pada akhirnya diperbolehkan pulang. Meski begitu, Dafi masih tidak diperbolehkan untuk beraktivitas yang lumayan berat. Oleh karena itu, saat ini, Dafi hanya berbaring di kamarnya, menatap langit-langit. Kedua tangannya terlipat di atas perut.
"Kak, hidup gue sebentar lagi selesai, ya?" Dafi bertanya pada Rasya yang berbaring di sebelahnya.
Rasya yang awalnya memejamkan mata, langsung kembali membukanya dan mendudukkan tubuhnya. Kedua manik itu menatap Dafi tidak percaya. "Lo ngomong apa, sih?" Rasya balas bertanya. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, Daf. Gue nggak suka."
"Kak, kalau gue mau DNRs, boleh?" Pandangan Dafi tampak kosong, seolah tidak bernyawa. "Ah, pasti nggak boleh. Lo 'kan sukanya gitu. Sok-sokan nahan gue biar nggak pergi."
Mendengar pertanyaan Dafi membuat Rasya merasakan nyeri yang teramat sangat di dadanya. Seperti ada yang meremas jantungnya. Membuat Rasya tanpa sadar meringis.
Sok-sokan katanya? Siapa pula yang ingin kehilangan saudaranya sendiri? Terutama saudara kembar yang selama ini selalu bersamanya, bahkan sejak dalam kandungan. Terlalu banyak memori yang terekam di ingatan Rasya membuatnya tidak bisa semudah itu mengiyakan permintaan Dafi. Kenangan-kenangan itu seolah menjadi penghalang bagi Rasya agar tidak mudah melepaskan Dafi begitu saja.
"Daf, jangan ngomongin itu. Lo pasti bisa sembuh. Tolong bersabar sebentar lagi," pinta Rasya. Suaranya terdengar memelas. Kedua manik itu mulai berkaca-kaca. Bahkan, setitik likuid mulai mengalir dari sudutnya. "Jangan gitu, ya. Gue nggak suka."
Dafi tertawa renyah. Ia menoleh, menatap Rasya. "Mau sampai kapan gue harus sabar, Kak? Selama sembilan belas tahun gue udah berusaha sabar buat ngehadapin penyakit sialan ini. Rasanya gue udah nggak sanggup." Dafi bangkit. Sama seperti Rasya, kedua matanya juga ikut berkaca-kaca.
"Kak, boleh sebentar aja gue meluk lo?" pinta Dafi.
Tanpa suara, Rasya mengangguk. Setelah itu, Dafi memeluknya. Erat. Benar-benar erat. Tubuh sang adik bergetar dengan isakan yang keluar tanpa permisi dari bibirnya. Pada akhirnya, Dafi menangis, setelah sembilan belas tahun ini berusaha menahan semuanya. Menumpahkan segala rasa sakit selama ini ia rasakan.
Sementara Rasya hanya diam. Tangannya perlahan mengusap punggung Dafi. Ia berusaha menahan rasa sedihnya. Meski lama-kelamaan, rasa sesak itu menyakiti dirinya.
●●●
Bunda sontak membeku ketika ia memasuki kamar Dafi. Kedua kakinya seolah terpaku di lantai. Membuatnya hanya bisa menatap kedua putranya dari ambang pintu.
Rasa sesak menghampiri dada Bunda saat mendengar suara isakan yang menyedihkan dari salah satu putranya tersebut. Ingin rasanya Bunda menghampirinya, kemudian memeluknya. Tapi, Bunda tidak bisa.
Rasanya menyakitkan ketika mendengar Dafi seolah menyerah karena penyakitnya. Berkali-kali Bunda mendengar Dafi berkata bahwa ia ingin berhenti untuk berjuang. Padahal, di sini Bunda masih ingin melihatnya. Bunda masih ingin mendekap tubuhnya.
Perlahan, Bunda membekap mulutnya, berusaha menahan isakannya. Kedua netranya mulai basah, hingga akhirnya setetes air mata mengalir begitu saja membasahi pipinya. Ia mundur hingga ke luar kamar Dafi, lalu bersandar di dinding. Tubuh Bunda meluruh ketika kedua kakinya seolah tidak dapat menahan bobot tubuhnya lagi.
Andai Bunda bisa, ia ingin berlari menghampiri Dafi, lalu mendekapnya erat. Berkata bahwa ia tidak boleh menyerah. Tapi, Bunda tidak bisa dan mungkin saja tidak akan pernah bisa.
Maaf karena Bunda nggak bisa melahirkan kamu dengan kondisi sempurna, Dek.
●●●
But, whatever they say, you are my definition of perfect.
●under the stars●
A/n
Masih berkutat dengan tugas, dan mungkin selamanya akan begitu :)
By the way, aku mau promosiin akun baru teman aku. Ea. Teman. Dia nulis juga loh di sana. Ini akunnya narendrafian. Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.