"Gimana praktiknya?"
Dafi menoleh, menatap Rasya yang sedang duduk di kursi tunggu, di dekat bagian farmasi rawat jalan. Kedua maniknya menyipit begitu menyadari sang kakak berada di sana, entah untuk apa. Padahal, sekarang masih pukul dua siang. Rasya seharusnya pulang pukul tiga, sesuai dengan ucapannya tadi pagi.
"Ngapain di sini?" tanya Dafi skeptis. Agaknya ia ragu kalau yang duduk di sana adalah Rasya. Mungkin saja, Dafi sedang berhalusinasi siang ini. "Bukannya seharusnya lo masih ada kelas?"
"Mau ngejemput lo. Kelas gue kosong ternyata," jawab Rasya, "untung insting gue benar kalau lo lewat sini. Jadinya, bisa langsung ngasih surprise ke lo. Kaget nggak?"
Dafi menampilkan wajah sok terkejut. "Wah, aku kaget," ucapnya singkat, dengan intonasi yang datar, "udah, yuk pulang, kalau emang tujuan lo ke sini buat ngejemput gue."
Rasya bangkit dan meregangkan tubuhnya. Ia merangkul Dafi, menggiring cowok itu berjalan menuju lobi utama rumah sakit. Senyum khas sehangat mataharinya tampak di wajahnya yang terlihat sedikit lelah.
"Mau makan dulu nggak?" tanya Rasya, "hmmm, gue agak lapar. Hari ini ada kuis mendadak. Nyebelin itu dosen emang."
Dafi menggeleng pelan. Tubuhnya terasa lelah siang hari ini. "Mau pulang aja," jawab Dafi. Kedua matanya terpejam. Sejenak, Dafi berhenti berjalan. "Gue tadi agak sesak, Kak. Nggak pengin ngebebanin tubuh dulu."
Mendengar itu, sontak membuat Rasya panik. Ia ikut berhenti berjalan. Tubuhnya diposisikan di hadapan Dafi dengan kedua tangan memegang pundak adiknya itu. Senyumnya luntur dari bibir.
"Kok, bisa? Lo kecapekan lagi? Lo nggak mau mematuhi aturan lagi? Lo nggak minum obat? Lo ngapain bisa sampai sesak gitu?" tanya Rasya khawatir, "jawab gue, Dafi! Lo pasti bandel lagi 'kan?"
Dafi memutar kedua bola matanya. Respon Rasya terlalu berlebihan, sampai-sampai banyak pengunjung rumah sakit yang berhenti berjalan sejenak demi melihat mereka. Dafi lantas menepis tangan Rasya yang ada di pundaknya.
"Lebay," rutuk Dafi, "lo nggak lihat gue? Gue baik-baik aja, Kak. Gue kuat, kayak biasanya." Ia tersenyum lembut, berusaha menenangkan Rasya. Kakaknya itu suka berlebihan. Tapi Dafi tahu, itu adalah bentuk rasa sayang. Sepantasnya, Dafi menghargai hal itu.
"Gue nggak berniat mati sebelum gue lulus profesi. Seenggaknya, gue mau menambahkan gelar di nama gue," ucap Dafi, santai. Seolah hal tersebut tidak berat untuk diucapkan. "Atau kalau boleh, sampai gue lulus ukom. Meski nama gue di nisan nanti nggak ada gelarnya, cuma gue pengin aja. Itu jadi suatu kebanggaan buat gue pribadi. Makanya itu, Kak, gue nggak bakal kenapa-napa, karena gue nggak berniat kenapa-napa."
Rasya tersenyum. Tangannya refleks mengacak rambut Dafi. "Bahasa lo belibet, tapi gue paham. Dan gue terharu karena itu." Rasya mencetus. "Jadi adek yang bisa terus ngebuat gue, Bunda, dan Ayah bangga, ya."
"Iya, pasti."
●●●
Dafi duduk di gazebo dengan Neko yang ikut duduk di sebelahnya sambil memakan snack rasa tunanya. Manik mata Dafi bergerak, mengikuti pergerakan ikan-ikan yang tampak malas. Rasanya, tubuhnya pegal-pegal karena dinas hari ini, dan itu juga yang membuat Dafi malas untuk melakukan apapun.
"Lagi melakukan salah satu impian lo, ya?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Dafi lantas menoleh, menatap Aldrin yang berjalan menghampirinya.
"Wah, iya. Memperhatikan ikan yang bergerak malas itu salah satu impian gue, dan sekarang udah terwujud," balas Dafi. Ia tersenyum lebar dan bangkit. "Apa kabar?"
"Baik banget, meski gue stres karena kuliah," jawab Aldrin, "lo sendiri? Pasti baik karena ketemu gue 'kan?"
"Gue baik karena ditemenin Neko," sanggah Dafi. Ia duduk di pinggir gazebo dengan kaki yang menggantung ke arah kolam ikan. Aldrin ikut duduk di sebelahnya.
"Nggak kangen gue? Kita udah lama nggak ketemu, loh," tanya Aldrin. Diambilnya snack milik Neko yang ada di dekat pagar gazebo.
Dafi tertawa. Ia agak menurunkan tubuhnya sedikit, hingga jemarinya terkena permukaan kolam. "Kenapa gue harus kangen lo?" Dafi balas bertanya. Kedua tangannya menyangga tubuh dari belakang dengab kepala yang mendongak, menatap langit malam yang tampak bersih.
"Karena gue ngangenin," cetus Aldrin.
Dafi berdecih pelan. Sahabatnya itu memang punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Untung saja, tampangnya bisa Dafi bilang lumayan. Tahu sendiri 'kan, tampang juga terkadang menentukan bagaimana sikap orang terhadap orang lain? Meski menurut Dafi, hal itu tidak lah adil.
Aldrin kembali bangkit dan merentangkan kedua tangannya saat merasakan angin berembus menerpa tubuhnya. Kedua kelopak matanya terpejam. Senyum tipis tampak di bibir merah mudanya. Rambut lebatnya yang berwarna hitam legam tampak berterbangan.
"Inilah yang gue suka dari halaman belakang rumah lo," ucap Aldrin tiba-tiba, "gazebo, ikan, dan angin. Gue harap, halaman belakang rumah gue juga begini."
"Tinggal di sini aja," celetuk Dafi yang sedari tadi hanya memperhatikan tingkah Aldrin, "bunda sama ayah gue udah nganggap lo sebagai anak sendiri. Plus, gue kasian sama lo karena lo harus tinggal di sini sendiri."
"Gue masih sayang sama kenangan di rumah gue," jawab Aldrin, "oh, ngomong-ngomong, lo akhir-akhir ini selalu tampak baik, ya?"
"Alhamdulillah, gue sedang berusaha untuk mengurangi biaya rumah sakit di hidup gue." Dafi terkekeh pelan. "Biaya rawat inap aja udah mahal. Gimana rawat inap di ICCU. Berasa kaya banget gue."
"Akhir-akhir ini juga, gue lihat Rasya bisa lebih fokus sama kuliahnya," lanjut Aldrin, "selama ini, Rasya sering mikirin lo. Lo tahu itu 'kan?"
Dafi lantas tersenyum sendu. "Iya, gue tahu."
"Sebagai sahabat kalian berdua, gue bersyukur lo bisa ngejaga tubuh lo sendiri." Aldrin berjalan ke pagar gazebo, lalu agak berjinjit, agar ia bisa duduk di sana. Tubuhnya bergerak maju dan mundur, tidak seimbang. "Seenggaknya, lo berusaha buat mengurangi beban pikiran kakak lo."
"Lo nyamperin gue buat ngomong itu doang?" tanya Dafi.
"Kata Rasya, gue bisa nunggu di sini sekalian nungguin dia nyiapin makanan," terang Aldrin, "plus, meluapkan rasa kangen gue sama lo yang udah tertahankan sebegitu lamanya. Sayang banget, orang yang gue kangenin malah nggak kangen sama gue."
Dafi meringis geli karena ucapan Aldrin, sementara cowok itu hanya tertawa heboh. Sampai-sampai, kedua bahunya bergetar. Kadang, wajah Dafi terlihat lucu saat Aldrin menggodanya.
"Yah, selain itu, iya, gue mau ngomong hal tadi," ucap Aldrin pada akhirnya, "Rasya itu jarang sakit. Baru kemarin gue liat dia dirawat di rumah sakit pas udah dewasa. Gara-gara DBD, lagi. Gue jadi berpikir kalau Rasya sakit karena dia nggak mikirin tubuhnya sendiri, dan lebih berfokus ke lo. Sejujurnya, gue nggak mau nyalahin lo, sih. Itu emang cara Rasya bersikap." Aldrin berdeham sejenak. "Gue cuma ngerasa lucu aja. Lo selama ini mikirin keadaan Rasya nggak, sih?"
●under the stars●
A/n
Besok aku OSCE, guys. OSCE anak, enam stase. Doain, ya:")
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.