"Dafi, duduk!"
Dafi yang sedang menyiapkan obat pasien langsung berhenti bergerak. Ia menolehkan kepalanya, menatap Bu Vina yang duduk di meja nurse station. "He, kenapa, Bu?" tanya Dafi. Ia bersorak kecewa. "Ini pertama kalinya aku ngasih obat lewat bolus. Kenapa malah disuruh duduk?"
"Saya bilang, duduk!" ulang Bu Vina. Kali ini lebih tegas dari sebelumnya. "Kalau kamu nggak mau duduk, saya nggak bakal kasih izin kamu buat datang besok."
Pada akhirnya, Dafi pasrah. Ia kembali meletakkan obat tersebut dan sebuah spuit yang sudah diambilnya ke tempatnya. Perlahan, Dafi berjalan menuju nurse station, lalu duduk di sebelah Bu Vina.
"Dek! Tolong ambilin tensi sama saturasi!" Bu Vina menyuruh Naya yang masih berada di ruang tindakan. Kemudian, kedua manik mata itu menatap Dafi dari atas ke bawah dan sebaliknya. "Saya udah bilang apa? Jangan capek-capek. Saya nggak mau, ketemu kamu lagi sebagai seorang pasien."
Dafi merotasikan kedua bola matanya. "Emang kenapa, sih? Aku 'kan mau juga nyobain," protes Dafi. Ia bersedekap dan memalingkan wajahnya.
"Kamu mau jawaban karena kamu sakit, atau karena kamu putra dari dokter jantung yang paling saya hormati di rumah sakit ini?" Bu Vina balas bertanya. "Pilih salah satu, itu jawabannya."
"Dua-duanya sama-sama bikin aku nggak enak hati," gumam Dafi. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. "Plus, alasan Ibu bikin aku muak."
"Saya sayang sama kamu, loh." Bu Vina mencetus. Dirinya berhenti mengerjakan tugasnya, lalu menegakkan tubuhnya. Ditatapnya cowok yang selama ini sudah dikenalnya dan sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. "Seharusnya kamu tersanjung, karena udah disayang sama seorang kepala ruangan."
Bu Vina menerima sfigmomanometer dan pulse oximeter yang Naya sodorkan. Ditariknya lengan Dafi, lalu dipasangkan pulse oximeter tersebut di salah satu jarinya. "Kalau hasilnya bagus, saya izinin kamu buat ngasih obat. Kalau nggak, ya, kamu duduk di sini. Tanya-tanya sama teman kamu."
Dafi tergelak. Ia pasrah saja ketika Bu Vina mengukur tekanan darahnya. "Aku udah duduk cukup lama, loh, di sini. Pasti bagus hasilnya. Plus, tadi aku cuma ganti verbed," balas Dafi, "atau ini cuma akal-akalan Ibu aja, biar aku duduk?"
"Tekanan darah kamu agak tinggi, nih. Saturasi oksigen kamu juga lebih rendah dari normal, jauh lebih rendah." Bu Vina melepas manset sfigmomanometer dari lengan Dafi. "Kamu pusing? Ngerasa sesak nggak?"
Dafi menggeleng cepat. Senyum terlukis di bibirnya. "Enggak, Bu. I'm okay. Seharusnya Ibu tahu itu 'kan?" jawab Dafi, "sembilan belas tahun. Udah sembilan belas tahun aku bertahan. Kalau cuma begini doang, aku udah biasa. Aku bisa ngatasin sendiri."
"Saya nggak yakin," terang Bu Vina, "udah hampir jam makan siang. Gimana sama jadwal minum obat kamu? Jangan dilewatin."
"Bu, harus aku ulang nggak, sih? Hampir seperlima abad usia aku, sebagian besar---bahkan hampir seluruhnya---aku jalani bareng-bareng sama penyakit ini." Dafi tersenyum miris. Kepalanya agak dimiringkan, dengan tatapan yang jelas menatap Bu Vina. "Aku udah paham betul sama semua itu, Bu. Nggak usah dijelasin lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Stars
General FictionDafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Note: Tidak terikat pada cerita lainnya.