Angkat kepalamu, pertahankan senyummu, di saat jutaan orang merendahkanmu.
···
Kiya memandang bangunan yang kata pria di sampingnya ini sebagai rumah orang tuanya dengan terpana. Untuk seukuran rumah, ini jauh lebih besar. Halamannya saja sudah sepeti lapangan voli.
Sungguh, ini sulit dipercaya.
Deheman Fathur kembali membuat Kiya sadar dan mengangguk kecil saat pria itu menyuruhnya untuk mengikuti lewat isyarat mata.
"Assala--"
"Fathur pulang."
Suara datar dan menggema itu meredam suara Kiya yang hendak mengucapkan salam. Memilih mengatupkan mulut lagi dan menundukkan kepala meski tak ayal dirinya sempat mengagumi kemegahan rumah bak istana milik pria di sampingnya.
Terdengar derap langkah kaki yang tergesa membuat Kiya mendongakkan kepala lagi untuk melihat.
"Fathur tumben kamu udah---" Mata wanita paruh baya yang tak lain ibu Fathur itu beralih menatap Kiya dengan alis terangkat sebelum ... "AAAAA... KIYAAA!"
Kiya berjengkit dengan dada bergemuruh mendengar teriakan yang membuat jantungnya serasa ingin terjun ke lambung, ditambah pelukan super erat yang membuat paru-parunya mengecil dan napas sesak.
Kiya butuh oksigen sekarang!
"Ta--Tante," ucap Kiya tersendat dengan maksud agar wanita itu melepas pelukannya.
Pelukan terurai membuat Kiya meraup udara sebanyak mungkin dengan ekspresi yang terkontrol baik. Mata berbinar yang sudah seperti mendapat berlian membuat Kiya tak mengerti satu hal.
Bagaimana ibu Fathur tau namanya? Apa jangan-jangan ini keluarga cenayang? Setelah kelakuan ajaib anaknya, sekarang tingkah ibunya yang tak hanya tau namanya bahkan juga seolah mengenal dekat dirinya.
"Apa kamu mengingat Tante?"
Mata Kiya memincing bingung, tunggu, apa ia sudah pernah bertemu ibu Fathur sebelumnya? Dia rasa ti--
"Ah, kamu lupa dengan Tante, ya?" tanya ibu Fathur dengan lesu.
Kiya meringis tak enak. Apa iya mengalami penuaan dini? Apa masalah hidup membuatnya mendadak pikun?
Kiya tak bisa menyembunyikan raut wajah bingungnya, berusaha memerintah otak untuk mengingat lebih keras. Ah, lihatlah wajah berpikirnya yang sangat lucu itu.
"Kamu ingat dengan ibu-ibu yang dijambret dua minggu lalu di dekat supermarket? Dan kamu menolongnya sampai tangan kiri kamu terluka." Suara ibu Fathur kembali mengudara.
Kiya menunduk guna melihat telapak tangannya, benar saja, ada bekas luka goresan sepanjang tiga centi di sana. Aa, dia ingat sekarang.
"Tante Indah?"
Ibu Fathur--Indah--mengangguk semangat. "Ternyata kau tidak benar-benar lupa."
"Maaf, Tante. Kiya lupa."
"Tak apa, Tante tak menyangka ternyata kamu yang akan menjadi calonnya Fathur, jika saja Fathur bilang dari kemarin tentu saja Tante tak perlu cekcok dulu dan akan langsung merestuinya."
Kiya tersenyum canggung sedangkan yang namanya dipanggil hanya mendengus pelan.
Tiga pasang mata itu kompak menatap satu titik. Seorang gadis dengan balutan celana jeans, sweater berwarna cream dengan rambut yang digerai dan jepitan di kanan kiri serta ransel yang menyampir di bahu kanannya itu menuruni tangga sambil memasang jam tangannya hingga tak menyadari tatapan yang mengarah padaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pact Of Fate
RomansaCinta dalam Luka new version! "Dari pada karyawan saya lebih butuh seseorang untuk menjadi istri saya." Pertemuan singkat dan tawaran menikah. Terdengar konyol memang, tapi itulah yang ia rasakan. Hidupnya yang sudah dekat dengan kata rumit semakin...