9. Dinding Pembatas

6.1K 304 52
                                    

Kiya tidak pernah benar-benar berpikir untuk berperan sebagai istri yang sesungguhnya. Dia mencoba untuk tetap memperingati dirinya sendiri agar tidak melewati batasan yang ada. Contohnya dia tidak akan membuat drama mengantar makan siang ke kantor Fathur yang nanti mungkin saja berakhir dengan sebuah pengusiran seperti di novel ataupun sinteron yang ia lihat.

Meski diberi kebebasan sebagai nyonya muda Saddam, dia tidak serta merta akan menggunakan hal tersebut untuk semena-mena. Kiya tetap harus tahu diri dan membangun dinding pembatas agar tidak terperosok dalam pesona Fathur yang dia akui cukup membius.

Menghabiskan waktu selepas berbelanja kebutuhan rumah dengan bercengkrama bersama ART sembari mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus untuk mendekatkan diri membuat Kiya tidak sadar jika hari sudah beranjak sore. Lantas ia bergegas pamit untuk membersihkan diri.

.
.
.

Usai beribadah dengan masih memegang knop pintu kamar yang baru saja ia tutup dari luar, Kiya termenung sejenak. Jika tidak lembur, sebentar lagi Fathur akan pulang. Haruskah ia menyambutnya? Tapi, bukankah mereka tidak sedekat itu hingga membuat dirinya harus berdiri memasang senyum terbaik untuk menyambut suaminya pulang meski dia adalah istrinya?

"Minggir!"

Terlalu lama termenung membuat Kiya berjengit kaget saat suara Fathur terdengar di belakang tubuhnya. Tertegun sesaat sebab seseorang yang baru saja dipikirkan tiba-tiba muncul. Cepat sadar, Kiya langsung menggeser tubuh menjauhi pintu yang langsung dibuka Fathur tanpa sepatah kata pun dengan dirinya yang hanya mengekor untuk menyiapkan baju Fathur lantas keluar kamar untuk membantu memasak makan malam.

.
.
.
"Bi, saya makan di luar."

Ucapan Fathur yang tiba-tiba itu membuat gerakan Kiya yang sedang meletakkan piring di meja makan sejenak terhenti begitupun dengan Fathur yang tertegun sesaat.

Tidak terlintas dalam benaknya jika Kiya akan bertindak banyak untuk ukuran seseorang yang melakukan pernikahan kontrak. Menyiapkan baju, membuatkan sarapan, hingga makan malam. Fathur kira Kiya seperti perempuan lainnya yang akan memanfaatkan dompet tebalnya untuk berfoya-foya.

Bi Marni yang sejak tadi menyaksikan kebisuan keduanya tampak canggung. "Tuan, tapi Non Kiya sudah masak untuk makan malamnya," ucapnya tidak enak menyadarkan Fathur.

CEO Saddam Corp itu hendak membuka bibirnya sebelum kembali terkatup karena Kiya yang menyela.

"Nggak apa, Bi kalau Mas Fathur masih ada acara dan makan malam di luar," jawab Kiya menoleh pada Bi Marni dan mengulas senyum menenangkan. Tanpa perlu repot menahan sang suami alih-alih memintanya untuk menyempatkan menyicip masakannya, Kiya berbalik untuk kembali mengambil makanan yang masih tertinggal.

Pun Fathur yang tak ambil pusing dan langsung berlalu begitu saja.

Sedangkan itu Kiya memegang pinggiran mangkuk berisi sayur dengan erat. Dua kali, batinnya menghitung. Seharusnya dia sudah tahu jika ini konsekuensinya, tapi tetap saja rasanya sesak saat kerja keras kita tidak dihargai. Kiya tidak mengharap pujian suaminya, tapi sejak menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah ini mereka belum pernah sama sekali ada pada satu lingkup yang sama di ruang makan.

Kiya menghela napasnya. Dia hanya duduk sendiri di ruang makan ini. Sunyi dan senyap, dia belum terbiasa dengan suasana ini yang mungkin akan menjadi temannya untuk ke depannya.

Hah ... dia jadi merindukan kedua orang tuanya. Suasana hangat di balik kesederhanaan. Bercengkrama dengan obrolan ringan dan tertawa bersama yang membuatnya sadar kemewahan bukanlah apa-apa jika disandingkan dengan kebersamaan.

Kiya menunduk dan mengusap air matanya yang menetes begitu saja. Tidak, dia tidak menyesal melakukan ini jika itu demi orang tuanya. Kiya hanya ingin membalas budi walau tidak seberapa. Kebahagiaannya adalah tawa kedua orang tuanya, jadi ketika melihat ayahnya sehat kembali sudahlah cukup menjadi obat untuk Kiya menjalani semua ini.

Kiya mendongak dan menghembuskan napas dalam sekali tarikan dalam untuk mengurangi beban di hatinya kemudian mengulas senyum kembali.

"Eh, Bi Nining," panggil Kiya yang melihat Bi Nining melintas menuju dapur.

"Iya, Non. Ada apa? Non Kiya butuh sesuatu?"

"Ah, nggak. Bibi sudah makan?"

"Belum, Non. Ini Bibi mau makan sama Bi Marni di belakang."

Kiya manggut-manggut lantas berdiri dan mengangkat piringnya. "Kiya ikut, ya?"

Bi Nining tampak panik. "Eh, jangan atuh, Non. Non Kiya makan aja di sini, Bibi mau makan di belakang masa Nyonya di rumah ini ikut lesehan sama pembantu."

Kening Kiya mengerut tak suka mendengar jawaban itu. "Bibi ngomong apa, sih? Jangan bahas pangkat, ih. Kita manusia itu setara derajatnya dan yang gaji bibi itu Mas Fathur jadi rasanya Kiya terlalu tinggi kalau dianggap Nyonya di rumah ini."

Sebelum Bi Nining melontarkan penolakan Kiya lebih dulu meletakkan telunjuknya di bibir. "Sstt ... pokoknya Kiya mau ikut. Pasti seru sambil ngobrol bareng, di sini Kiya cuma sendiri nggak ada temennya makan. Jadi boleh, ya?"

Bi Nining menatap Nyonya Mudanya dengan sedih kemudian mengangguk terpaksa yang mampu menerbitkan senyum cerah Kiya.

Setidaknya Kiya sadar bahwa dirinya tidak benar-benar sendirian di rumah ini.

.
.
.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih, namun Kiya masih belum memejamkan matanya. Dia sedang membuat list yang akan dia lakukan ke depannya. Dia harus mempersiapkan segalanya mulai dari sekarang sehingga ketika kontrak itu selesai Kiya tidak benar-benar harus bergantung pada Fathur.

Berbicara soal Fathur, pria itu belum pulang sejak berkata akan malam di luar padahal malam semakin larut. Tak lama pintu terbuka dan sosok Fathur yang masih dengan raut datarnya masuk menatap Kiya yang sama sekali tidak melihat atau meliriknya sekalipun. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya beberapa detik sebelum mengenditkan bahu tak acuh. Dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju.

Sedangkan itu Kiya yang sedari tadi memperhatikan Fathur melalui ekor matanya mulai memberesi barang-barangnya. Tak ada sapaan, hanya hening. Mereka hanyalah dua orang asing yang dipersatukan dalam pernikahan yang tinggal di satu atap yang sama.

Kiya masih ingat jelas sesaat setelah Fathur menyodorkan sebuah kontrak pria itu berkata untuk tidak mencampuri urusan satu sama lain yang membuat Kiya pun menurutinya dan memilih bungkam.

Fathur sendiri yang baru keluar dari kamar mandi melihat ranjang yang tak lagi kosong. Seseorang yang telah ia persunting kemarin tampak tidur terlentang dengan sebuah guling di tengah sebagai tanda pemisah di antara mereka. Kakinya melangkah dan membaringkan tubuhnya di sebelah kanan Kiya dengan satu lengannya yang menutup kedua matanya yang tak lama membuatnya terlelap.

Kiya yang tak merasakan pergerakan apa pun membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Dia sebenarnya belum tidur, hanya memejamkan matanya saja. Otaknya dipenuhi pikiran, akan jadi seperti apa pernikahannya ini?

.....

Halo, apakah masih ada yang baca?

Haha, maafkan aku yang labil suka ilang-ilangan, ya. I hope kalian masih setia nunggu, terimakasih ♡

Sayang kalian...

Follow my IG, guys : @vivacious.diana

See you di part berikutnya.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pact Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang