Bab 1 Ternyata Selama Ini Dugaanku Salah

156 5 0
                                    

Hampir semua penduduk menganggap Besus gila. Usianya baru lima belas tahun, tapi tindakannya benar-benar ngawur. Kerjaan tiap hari adalah mencari rumput untuk kedua sapinya. Emm... kayaknya bukan sapinya, tapi sapi pamannya. Sejak kecil, orang tua Besus bercerai. Sang Ibu... dia menikah lagi dengan laki-laki dari Bumen Bantul. Dia jarang ketemu ibunya, paling-paling setahun sekali. Besus... dia ikut bapaknya tapi... hmm... Sang Bapak tak pernah shalat, kerjaannya adalah mengadu burung dara. Kalau menang, dapat duit untuk beli beras dan lauk. Kalau kalah... ngutang kesana kemari. Tapi... sebulan yang lalu tiba-tiba bapaknya meninggal. Kata dokter, tensinya tinggi banget.

Kini Besus sendiri, hidup dengan pamannya. Perangainya buruk, nakal, bahkan terkesan seperti orang gila. Saat dia lewat Candi Kalasan, dia kencing di dalam ruangan candi. Sontak petugas yang jaga langsung marah dan mengusirnya dengan kasar. Dia terus berjalan, hingga sampai ke Candi Banyunibo, daerah Bokoharjo Prambanan. Mungkin saking lelahnya, dia tertidur di dalamnya. Terpaksa petugas candi juga mengusirnya dengan kasar.

Besus, mungkin tuh pemuda melaksanakan mandi cuma seminggu sekali. Di sore hari, sambil membawa sabit dan karung, dia berjalan menuju ke sawah untuk mencari rumput. Saat sampai di pinggir desa, dia ketemu dengan bunga desa... Shita yang super imut dan beauty. Dengan nyantai Besus berkata, "Wahai Shita... kowe ayu tenan." Shita tak menoleh sedikitpun. Dia tetap menyapu halaman. Besus teriak, "Shita sayang, kemarin aku ke Pantai Parangtritis." Dengan agak kaget, Shita bertanya, "Ngapain kamu ke sana?" Dengan santai Besus menjawab, "Aku ketemu Ratu Pantai Selatan. Hmm... aku diam saja karena ternyata tuh ratu masih kalah cantik denganmu."

Sebenarnya Shita juga senang kalau disanjung tapi kali ini dia merasa malu bercampur jengkel. Sambil berhenti nyapu, dia mengusap keringat lalu berkata, "Oala Besus... Besus... dasar wong edan."

Besus: "Aku edan gara-gara melihat kecantikanmu."

Shita: "Oya? Kalau gitu jangan lihat wajahku! Biar kamu waras lagi."

Besus: "Saat aku memejamkan mata, hatiku juga masih terus melihatmu."

Shita: "Kowe memang wis edan permanen. Wis kono ndang ngarit! Mengo sapimu dho luwe, piye jal?"

Besus: "Baik, aku akan nyari rumput. Tapi ada satu pertanyaan, tolong jawab, ya!"

Shita: "Wis... ndang ngomongo! Arep takon opo?"

Besus: "Begitu banyak bintang di langit, tapi rembulan cuman satu, kira-kira apa artinya?"

Shita: "Embuh ... aku ra reti."

Besus: "Artinya... begitu banyak gadis di kampung ini, tapi hanya kamu yang ada di hatiku."

Mendengar kalimat terakhir, Shita semakin marah. Dia mengambil batu seukuran genggaman tangan orang dewasa. Dia melempar tuh batu ke arah Besus. Lemparan batu tidak mengenai Besus. Tuh pemuda berlari sambil kiss bye... hahaha... dasar wong edan.

Tapi... setelah melempar Besus, mendadak raut wajah Shita lesu. Aroma kesedihan menghinggapi hatinya. Jiwanya berbisik, "Duh, kasihan Mas Besus. Dia sebatang kara, musibah menimpanya tiada henti. Mungkin dia depresi dengan sangat hebat sehingga bicaranya seperti itu." Mata Shita terus menatap ke arah Besus yang berjalan cepat menuju sawah. Tatapan kepiluan, pandangan ke-iba-an. Shita berteriak keras, "Mas Besus, nanti kalau kamu lapar, silakan makan ke rumahku, ya! Ibukku tadi memasak opor ayam." Besus tidak menoleh sedikitpun.

Hari semakin sore, karung Besus sudah penuh dengan rumput. Mendadak perut terasa lapar, tanpa pikir panjang, diapun memakan beberapa ketimun di kebun milik orang. Dia gak peduli. Habis makan, kok terasa haus, hehehe... matanya melihat ada pohon pepaya. Sama... dia mengambilnya, memakannya tanpa berfikir tuh buah milik siapa.

Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang