Bab 4 Elang

11 2 0
                                    

Bapak: "Nak, kulihat nilai matematikamu... cuman 60."

Anak: "Soalnya sulit banget, Pak. Di kelas, malahan banyak yang dapet 20."

Bapak: "Pelajaran pendidikan agama, kenapa nilainya cuman 70?"

Anak: "Banyak dalil yang harus dihafal. Itupun harus sekalian terjemahannya. Duh... sulit banget, Pak."

Bapak: "Kamu sudah hampir kuliah, lho... kenapa semua nilai pas-pasan gini?"

Anak: "Yang penting aku sudah usaha."

Bapak: "Nak, menurutmu... pelajaran apa yang paling kamu sukai?"

Anak: "Kimia. Nih aku dapet 80."

Bapak: "Cuman 80?"

Anak: "Hehehe, itu dah lumayan lho. Teman-teman paling cuman dapat nilai 60."

Bapak: "Tentang hafalan surat Ad Dhuha?"

Anak: "Emm... lupa e, Pak... hehehe."

Bapak: "Kalau Al Bayyinah?"

Anak: "Setengah lupa. Dulu aku sangat hafal saat SMP. Sekarang dah lupa."

Bapak: "Ok, mumpung kita lagi berdua, aku akan bertanya kepadamu. Menurutmu, kamu termasuk golongan pemuda yang pintar atau biasa-biasa aja?"

Anak: "Kayaknya aku biasa-biasa aja."

Bapak: "Apa kamu yakin?"

Anak: "I... i... iya, aku yakin."

Bapak: "Baiklah. Sekarang kita test: apakah kamu sanggup menghafal 30 ayat pertama dari surat Al Baqarah? Bapak beri waktu tiga hari untuk menghafalnya."

Anak: "Duh, aku gak bakalan hafal, Pak. Otakku takkan mampu."

Bapak: "Kalau kamu hafal, Bapak akan memberimu duit lima juta rupiah."

Anak: "Lima juta??????"

Bapak: "Benar. Lima juta... cash."

Anak: "Siap Pak. Duit lima juta akan membuatku very clever, hahaha."

Tiga hari kemudian, Sang Anak setor hafalan ke Bapaknya dan... tuh anak benar-benar hafal. Bahkan sangat hafal, tak ada yang salah sedikitpun. Bahkan Sang Anak berkata, "Pak, untuk Al Baqarah ayat 31-60, aku siap menghafal lagi, asalkan ada lima juta lagi, hahaha."

Bapak: "Wow, ternyata kamu memang pandai banget."

Anak: "Lima juta rupiah membuat otak beku menjadi encer, Pak... hahaha."

Bapak: "Nak, apa kamu mau tantangan lagi?"

Anak: "Siap, asalkan ada duit, semua siap, hehehe."

Bapak: "Tolong kamu menghafal satu juz Qur'an, hadiahnya 100 juta."

Anak: "Wah, mantap nih... hehehe. Siap, Pak."

Bapak: "Hafalan dua juz, hadiahnya 200 juta."

Anak: "Naa... ini baru jos markojos. Kayaknya bentar lagi gue jadi kaya raya."

Bapak: "Ok, sekarang Bapak nggak mau bicara masalah uang. Bapak mau bicara masalah kepandaianmu."

Anak: "Enggih Pak."

Bapak: "Kemarin kamu bisa menghafal 30 ayat Al Baqarah. Itu menandakan bahwa kamu sangat pandai. Allah merancang manusia dengan otak yang sangat menakjubkan. Hanya dalam tiga hari, sekali lagi... hanya tiga hari, kamu bisa hafal 30 ayat."

Anak: ".........." (mangguk-mangguk)

Bapak: "Nak, mulai sekarang, jangan pernah menganggap dirimu biasa-biasa saja! Kamu harus menganggap dirimu pandai, bahkan super pandai, karena kamu telah membuktikannya."

Anak: "Tentang masalah duit, gimana Pak?"

Bapak: "Duit hanyalah masalah motivasi sementara. Kamu harus menemukan motivasi yang permanen supaya kamu tetap giat belajar, giat menghafal, tidak tergantung dengan motivasi sementara itu."

Anak: "Motivasi permanen... kira-kira apa, ya?"

Bapak: "Semua Nabi adalah pandai. Jika kamu ingin meneladani para Nabi, maka kamu harus meneladani mereka dalam hal kepandaian."

Anak: "Hmm... ada motivasi lagi?"

Bapak: "Para penghuni sorga adalah hamba-hamba yang pandai, sedangkan ciri penghuni neraka adalah manusia-manusia bodoh. Hidup adalah pilihan, kamu bisa memilih sorga atau neraka, tak ada yang memaksamu. Tapi kalau Bapak boleh berpesan, silakan memilih seperti pilihan para Nabi."

Anak: "Enggih Pak."

Bapak: "Satu lagi, Nak... bertahun-tahun Bapak membantumu. Jungkir balik kami orang tua mencari uang halal demi memberi nafkah kamu dan adik-adikmu. Bapak ama Ibu nggak minta balasan apa-apa. Kami hanya minta satu hal saja... belajarlah yang super rajin! Silakan pelajari ilmu islam dengan sangat tekun! Hanya itulah yang akan membuat kami bahagia dunia akhirat."

Anak: "Enggih Pak."

Bapak: "Seratus tahun yang lalu mungkin orang yang memegang banyak uanglah yang akan kuat. Tapi sekarang bukan seperti itu. Now... orang yang paling banyak ilmu-lah yang akan kuat. Itulah kenapa para presiden dikelilingi oleh orang-orang yang pandai, bukan orang-orang kaya."

Anak: "Kayaknya kalimat ini mengena banget."

Bapak: "Nak, hidup hanya sekali. Mungkin 70 tahun lagi kamu sudah tidak di atas tanah lagi. Maka dari itu, selagi kamu masih di atas tanah, silakan kamu habis-habisan untuk belajar, mencari ilmu dan kegiatan positif lainnya."

Anak: "Tapi temanku tak ada yang seperti itu?"

Bapak: "Mereka tak tahu ilmu ini. Mereka malas karena belum kenal dengan dirinya sendiri. Sekarang kamu sudah mengenal dirimu sendiri bahwa kamu pandai, kamu smart, kamu ingin meneladani Nabi Muhammad SAW yang pandai, kamu ingin fokus akhirat, kamu ingin membahagiakan ortu dengan ilmu dan prestasi. Dengan point-point inilah, maka kamu tidak sama dengan mereka. Kamu jauh di atas mereka."

Anak: "Hmm... benar juga."

Bapak: "Kamu ibarat elang, Nak. Elang selalu terbang sendiri, tidak menggerombol, begitulah kebiasaan para pemimpin."

Anak: "Oya?"

Bapak: "Nabi Muhammad sering menyendiri di goa Hiro. Imam Ahmad menyendiri di penjara. Hamka juga menyendiri di penjara. Kesendirian inilah yang akan membersihkan hati, menguatkan keinginan belajar dan menghafal. Menyendiri akan membuat sujud menjadi semakin khusyu'. Menyendiri akan membuat otak ini kuat menghafal."

Anak: "Pak, doakan saya semoga bisa melaksanakan semua wejangan ini."

Bapak: "Nak, saat di masjid, silakan menghafal. Saat di kamar, silakan belajar. Saat di keramaian, silakan berdzikir. Saat di tengah alam, silakan bertafakkur. Inilah jalan yang kami lalui setiap hari hingga nanti ajal menjemput."

Anak: "Enggih Pak... doakan saya semoga bisa menjalaninya dengan ikhlas."

Bapak: "Biar kamu nyaman, setiap pagi... janganlah berkata: saya harus rajin! Nggak usah menggunakan kata harus, entar jiwamu malahan jadi terpaksa. Padahal keterpaksaan itu nggak nyaman. Kata 'harus', silakan ganti aja dengan kata 'memilih'. Jadi, tiap pagi katakan dalam hati: hari ini saya memilih untuk rajin, hari ini saya memilih untuk belajar. Hari ini saya memilih untuk meneladani para Nabi yang pandai. Hari ini saya memilih untuk menjadi pandai."

Anak: "Pak, hari ini dan seterusnya saya memilih untuk rajin belajar."

Bapak: "Pilihan yang tepat. Bapak yakin Allah akan menguatkan hatimu untuk tetap istiqomah dalam belajar dan menghafal."

------

Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang