Bab 9 Cara Mendesain Anak Supaya Menjadi Gila

10 1 0
                                    

Tahun 2008

Mata Thoriq terus terpaku ke permukaan air sungai yang jernih. Sudah setengah jam lebih dia ingin menangkap anak ikan sepat yang berenang meliuk-liuk kian kemari, tapi belum juga berhasil. Angin lembut menerpa wajahnya yang putih dan ganteng. Umurnya baru enam tahun, imut, periang. Tiap sore dia menikmati ayat Allah yang terbentang mulai dari sawah yang menghijau, sungai yang bening, dan dedaunan yang rindang.

Thoriq agak kaget namun tersenyum manakala dari arah belakang sahabatnya datang. Laila, umur mereka sama. Ni cewek juga imut, rambut panjang hingga sebahu. Sejenak mereka bergurau.

Laila: "Sudah dapat ikan berapa?"

Thoriq: "Baru dapat dua ikan."

Laila: "Eh, lihat ke arah samping kirimu, ada banyak ikan gathul. Kita tangkap, yuk!"

Thoriq: "Enggak ah. Untuk apa menangkap ikan gathul? Nggak seru."

Laila: "Tapi aku suka ikan gathul. Mereka selalu bersama. Kemana-mana selalu beriringan."

Thoriq: "Kalau aku... suka ikan sepat."

Laila: "Kenapa suka ikan sepat?"

Thoriq: "Aku melihat dia selalu tersenyum, tertawa, bermain kian kemari. Kayaknya ... dialah makhluk Allah yang paling bahagia."

Dua tahun kemudian

Thoriq sudah duduk di kelas dua SD. Kini... kesempatan untuk melihat alam sudah sangat jarang. Ibu Wida- ibunya Thoriq mempunyai impian bahwa Thoriq bisa menghafal Qur'an 30 juz. Di samping itu, dia juga berambisi Thoriq harus menjadi ranking satu di kelasnya.

Beban-beban inilah yang membuat Thoriq jarang tersenyum. Sepulang sekolah, dia nonton TV bentar, jam 2 siang berangkat les. Ntar jam 4 sore mengaji. Jam 6 sore belajar mapel di kamar. Jam 8 mpe sembilan hafalan Qur'an dengan ibunya. Targetnya satu halaman/ hari. Thoriq tidur terlelap saat jam 9.30 malam. Baru tidur lima setengah jam, tepat jam tiga pagi, Sang Ibu membangunkan Thoriq untuk kembali menghafal Qur'an mpe subuh. Setelah subuh, kembali disuruh mengulangi pelajaran sekolah.

Hanya saat hari minggu Thoriq benar-benar bisa istirahat. Kini dia bersama Laila. Sama... berdua di sungai melihat ikan yang berenang.

Laila: "Kulihat wajahmu lesu. Kayaknya kamu lelah banget."

Thoriq: "A... a... aku capek. Pikiranku lelah. Otak ini terasa mau meledak. Rasanya... duh... nyut... nyut... nyut."

Laila: "Mungkin kamu terlalu banyak belajar."

Thoriq: "Aku terpaksa. Hmm... aku dipaksa ibukku belajar keras. Aku tak punya kesempatan untuk bermain, tak ada lagi waktu untuk menikmati hidup."

Laila: "Kudengar kabar... kamu lagi fokus menghafal Qur'an, ya?"

Thoriq: "Aku dipaksa ibukku. Kalau tak patuh, aku dicap anak durhaka. Aku dicap tak mau diajak menuju kebaikan."

Laila: "Hmm... apa kamu menikmati menghafal Qur'an?"

Thoriq: "Enggak. Aku tak bisa menikmati. Aku lelah. Pelajaran sekolah sangat berat. PR juga banyak. Tugas seabreg... kini ditambah beban hafalan satu halaman Qur'an sehari. Duh... kadang aku pingin minggat dari rumah."

Laila: "Huss... jangan berkata seperti itu! Ibumu tuh baik, sangat sayang kepada anaknya sehingga memberimu tugas hafalan seperti itu."

Thoriq: "Baik tapi terlalu memaksa. Kayaknya dia bakalan bangga kalau aku hafal Qur'an, lalu prestasiku ini dipamer-pamerkan ke teman-temannya di sosmed. Aku tak suka hal itu."

Laila: "Hmm... jika kamu bebas memilih, pilihan apa yang akan kamu ambil?"

Thoriq: "Aku ingin dalam sehari tuh... belajar satu jam aja, gak ada les, gak ada hafalan Qur'an... aku tak mampu menghafalnya. Aku ingin lebih dekat ke alam yaitu sawah, kebun, sungai. Di situlah aku menemukan kedamaian."

Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang