Bab 3 Dunia Hanya Membutuhkan Nilai Seratus

13 1 0
                                    

Padahal di dalam ruangan ber AC, tapi dahi Sekar kelihatan berkeringat. Seratus soal harus dia selesaikan dalam waktu dua jam. Usia Sekar menginjak 24 tahun. Sebulan lalu dia melamar kerja di Jakarta, tapi gagal. Kini dia ikut test calon karyawan di salah satu perusahaan ternama di Semarang.

Sepuluh menit lagi waktu bakalan habis. Kini nampak wajah Sekar sumringah. Sejenak dia istirahat sambil memperhatikan jiwa dan hatinya ngobrol.

Jiwa: "Sebenarnya soalnya gak susah amat, tapi... duh... aku khawatir gagal."

Hati: "Lihatlah sekelilingmu! Ada hampir seribu manusia yang ikut test bersama kita."

Jiwa: "Duh... padahal perusahaan cuman butuh sepuluh orang. Berarti..."

Hati: "Sembilan ratus sembilan puluh orang bakalan terbuang."

Jiwa: "Hmm... aku pasrah, benar-benar pasrah."

Hati: "Eh, lihatlah Si Hera! Dia tersenyum melihatmu."

Jiwa: "Benar, kayaknya dia sudah kelar mengerjakan semua soal. Hmm... jangan-jangan dia bakalan lolos."

Hati: "Semoga aja kita berdua lolos test ini."

Tiga hari kemudian, lewat internet, mereka bisa mengetahui bahwa nilai test mereka 95. Sontak mereka berdua jungkir balik karena kegirangan maksimal, hahaha.

Sekar: "Fren, kita berhasil."

Hera: "Itu kan baru nilai yang keluar. Tentang diterima kerja atau tidak, belum diumumkan."

Sekar: "Tapi dengan nilai segitu, aku yakin kita bakalan kerja, hehehe."

Hera: "Coba katakan sekali lagi!"

Sekar: "Kita bakalan k-e-r-j-a."

Hera: "Sekali lagi!"

Sekar: "Kita bakalan kerja."

Hera: "Sekali lagi!"

Sekar: "Duh... lebay banget."

Hera: "Hahaha, aku sangat bahagia mendengar kata... 'kerja'."

Sekar: "Sama. Ntar kalau kita dah kerja, kayaknya gaji kita hampir 5 juta, ya?"

Hera: "Bukan, tapi hampir 8 juta."

Sekar: "Oya? Mantap... tap... tap. Gaji pertama, gue bakalan beli iphone."

Hera: "Gue samsung aja."

Sekar: "Gue bakalan kredit motor beat."

Hera: "Aku... mio aja deh."

Sekar: "Aku mau liburan ke Bali dua hari."

Hera: "Kalau aku... emm... ke Singapore aja, lebih keren."

Mereka berdua mabuk berat, hehehe... bukan hanya mabuk, melainkan... sakau. Tapi, gimana lagi, namanya aja remaja, biarlah sejenak mereka berkhayal, karena hidup ini sangat pendek jika harus terus under pressure.

Sehari kemudian, mereka berdua download daftar nama yang diterima oleh perusahaan. Sejenak Sekar menarik nafas dalam-dalam dengan posisi mata terpejam. Hera... dia tak mampu melihat display tab. Dia ketakutan dan khawatir jangan-jangan namanya tak ada dalam daftar itu. Dia hanya bisa terpejam.

Dengan mengucap bismillah, Sekar mulai melihat satu persatu nama-nama yang berhasil lolos. Nomor satu... bukan namanya. Nomor dua... juga bukan namanya. Nomor tiga... juga bukan namanya. Kini tinggal tujuh nomor lagi. Dia tak kuat melihat karena saking gemetarnya. Sejenak dia memejamkan mata, mengelap keringat yang terus membasahi dahi.

Hera: "Sekar, apa kamu sudah melihat semua?"

Sekar: "Be... be... belum, hanya sampai nomor tiga. Aku deg-degan."

Hera: "Sama, aku juga. Duh... aku mpe ngompol e, fren... duh."

Sekar: "Parah."

Hera: "Begitulah kalau aku super ketakutan... mpe ngompol."

Setelah minum seteguk air, kini Sekar kembali memaksa matanya untuk memeriksa daftar itu. Dia mengamati nomor empat, lima, enam hingga sepuluh... tak ada namanya, juga tak ada nama Hera. Hanya 10 orang yang diterima, dan... mereka tak ada di daftar itu.

Sejenak angin terdiam, tangan Sekar gemetar menggenggam tab. Pandangannya kosong. Cita-citanya musnah. Tak terasa... air mata menetes deras. Hera melihat air mata Sekar, tanpa mengucap sepatah kata apapun, dia langsung nangis sesenggukan.

Satu jam kemudian, nampak air mata sudah mengering. Sambil nyeruput susu coklat hangat, sejenak mereka bicara dengan wajah yang sangat lesu.

Sekar: "Eh, coba tolong lihat sekali lagi daftar nama-nama orang yang diterima PT!"

Hera: "Fren, sudah kulihat ratusan kali. Nama kita tak ada."

Sekar: "Bukan itu maksudku. Siapa nama pertama yang ada di list itu?"

Hera: "Emm... Zakki."

Sekar: "Apa ada nomor HP nya?"

Hera: "Ada, nih liat sendiri!"

Sekar: "Aku akan nelpon orang ini."

Hera: "Untuk apa? Duh kamu ini kepo banget."

Sekar: "Sttt... diam!!!!"

Hera bingung... ngapain Sekar telpon Zakki? Kawan... bukan. Saudara... bukan. Kenalan... juga bukan. Duh...

Sekar: "Halo... assalamu'alaikum."

Zakki: "Walaikum salam. Ini siapa?"

Sekar: "Ini Sekar, Mas. Oya, kenalkan... nama saya Sekar. Saya juga ikut test masuk perusahaan. Tapi... saya gagal."

Zakki: "Saya ikut prihatin, Dik."

Sekar: "Mas, kok Panjenengan bisa lolos, gimana historisnya?"

Zakki: "Test kemarin, nilaiku 100."

Sekar: "Whattttt? Padahal nilaiku dah 95 lho, Mas."

Zakki: "Kemarin aku sempat ngobrol ama HRD perusahaan. Beliau menerangkan bahwa dari 1000 pelamar kerja, yang 900 peserta mempunyai nilai 80an. Yang 90 peserta mempunyai nilai antara 91-99. Hanya sepuluh orang yang mempunyai nilai 100."

Sekar: "Jadi... kesepuluh orang yang diterima kerja itu, nilai mereka 100 semua?"

Zakki: "Iya Dik."

Sekar: "Duh... mumet Mas... Mas."

Hikmah kisah ini: dunia kerja berbeda jauh dengan dunia sekolah. Saat kita di bangku sekolah, mendapat nilai 90, duh... senengnya minta ampun. Dapat nilai 97... hehehe... jingkrak-jingkrak bagai mendapat bintang jatuh. Tapi dalam dunia kerja... hanya yang terbaik yang akan mendapat pekerjaan. Si Zakki... nilainya 100, mendapat gaji 8 juta. Si Sekar, nilanya 95. Berapa gajinya? Bukan 6 juta, juga bukan 3 juta, melainkan gajinya nol. Hmmm... nol... sekali lagi nol alias jobless. Begitulah dunia kerja... kejam, sadis, tega. Perusahaan tak mau menggaji orang dengan kemampuan nilai 90 atau 99. Mereka hanya mencari manusia dengan nilai 100. Oleh karena itu, marilah kita didik anak-anak kita dengan sangat serius! Jangan puas dengan nilai 90 atau 95. Tetap fokus berusaha untuk meraih nilai 100 karena... dunia kerja menomorsatukan manusia dengan kualifikasi nilai 100.

------

Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang