Bab 10 Ketika Allah Memberi Secara Kontan

7 1 0
                                    

Suasana bakda subuh yang biasanya sunyi, sepi dan sejuk, kini mendadak geger. Pak Haji Syarif pingsan di masjid saat selesai mengerjakan shalat subuh berjamaah. Sang Putri yaitu Mbak Witri sudah bersiap-siap mengantar beliau ke rumah sakit. Tapi mendadak Pak Syarif sadar dan beliau nggak mau di bawa ke rumah sakit. Kini beliau dibaringkan di atas ranjang yang diletakkan di ruang tamu agar masyarakat dengan mudah membezuk beliau.

Mbak Witri dikaruniai adik yang bernama Fhatmi. Keduanya sudah berumah tangga. Usia Pak Syarif sendiri sudah hampir 80 tahun. Kini mereka semua berkumpul.

Witri: "Pak, Panjenengan harus kerso ke rumah sakit."

Pak Syarif: "Aku sudah sadar dari pingsan. Sudahlah, jangan lagi menyebut rumah sakit! Nak, hmm ... kayaknya jatah hidupku di dunia ini sudah hampir habis."

Fhatmi: "Pak, ampun ngendiko mekaten!"

Pak Syarif: "Sebelum aku meninggal, sebenarnya ada satu rahasia yang kusembunyikan selama 20 tahun ini. Kini aku akan membuka rahasia itu."

Witri: "Hiks... hiks... hiks ..."

Pak Syarif: "Nak, saat usiaku 59 tahun, aku berangkat naik haji ke tanah suci. Saat melaksanakan shalat di Masjidil Haram, ada keanehan. Waktu itu aku shalat dengan memakai sajadah. Selesai melaksanakan shalat, akupun melipat sajadah. Aku kaget manakala melihat di bawah sajadah itu ada uang kertas riyal begitu banyak. Aku menoleh ke kanan ke kiri, pikiran ini mendadak bingung dan bertanya-tanya... siapa pemilik uang ini? Akupun membawanya. Kusimpan rapi di kopor."

Witri: "Hmm... cerita yang bagus."

Pak Syarif: "Beberapa jam kemudian, aku melaksanakan shalat lagi. Sama... selesai shalat, kulihat di bawah sajadah berserak uang begitu banyak. Aneh... jiwa ini terasa tentram. Besoknya, aku sengaja shalat di Masjidil Haram dengan tidak membawa sajadah. Keanehan datang lagi, Nak. Selesai melaksanakan shalat, di bawah pinggangku terdapat begitu banyak uang riyal. Akupun menyimpannya. Semua uang kubawa pulang, kutukarkan ke mata uang rupiah, hmm... hampir satu milyar rupiah. Uang itu aku gunakan untuk membeli sawah dan kebun. Kini semua sawah dan kebun itu aku wariskan kepada kalian berdua."

Witri: "Aku yakin semua uang itu adalah pemberian dari Allah."

Fhatmi: "Hatiku juga mengatakan seperti itu."

Pak Syarif: "Setelah mengalami peristiwa itu, duh... imanku semakin naik. Aku semakin yakin bahwa Allah tuh ada, baik, dan senantiasa mengurus hamba-Nya."

Witri: "Kenapa Bapak merahasiakan ini semua?"

Pak Syarif: "Aku tak ingin jiwaku menjadi sombong. Biarlah kejadian ini hanya aku dan Allah saja yang tahu."

Witri: "Hmm... hati ini terasa mak nyess mendengar kisah Panjenengan, Pak."

Pak Syarif: "Nak, sejak muda, aku belajar mengaji di masjid kampung kita itu. Hmm... cukup lama aku merenungkan satu ayat yaitu ayat pertama yang tertulis di Qur'an."

Fhatmi: "Maksud Bapak... Bismillahirrahmaanirrahiim."

Pak Syarif: "Benar. Lama otak ini berfikir: kenapa ayat ini dijadikan ayat pertama? Hmm... ada kata Arrahman, juga ada kata Arrahim. Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang."

Witri: "Bapak memang telaten, ulet, dan rajin."

Pak Syarif: "Kenapa kata Arrohman diletakkan di awal Qur'an? Duh... lama banget aku memikirkan satu kata ini, hingga sampai berminggu-minggu."

Fhatmi: "Akhirnya????"

Pak Syarif: "Aku berkesimpulan... sengaja Allah meletakkan asmaul husna itu, yaitu Arrahman, Maha Pengasih... supaya manusia mau meneladani asmaul husna ini. Aku yakin bahwa Allah sangat mencintai hamba-hambaNya yang suka memberi, bersedekah, dan meringankan beban orang lain. Hmm... sejak saat itu, akupun rajin sedekah, rajin membantu, rajin menyantuni anak yatim dan miskin."

Witri: "Wow... sungguh bijaksana."

Pak Syarif: "Rupanya Allah membalasku secara cash di dunia ini. Saat di Masjidil Haram, Allah ganti memberiku uang begitu banyak. Ya Allah... Engkau memang Arrahman, Engkau benar-benar sayang kepada kami."

Fhatmi: "Memahami hanya satu ayat, lalu dipikirkan berhari-hari, kemudian dilaksanakan dengan ikhlas dan istiqomah hingga ujung kehidupan... wow... Pak... tak kusangka Panjenengan benar-benar mencintai Qur'an."

Pak Syarif: "Nak, pesanku: jangan hanya puas dengan menghafal Qur'an. Tapi yang paling penting adalah memahami Qur'an. Memikirkan apa yang terkandung dalam setiap ayat di Qur'an, lalu laksanakanlah dengan istiqomah hingga nyawa ini berpisah dari raga. Aku yakin... kamulah manusia yang paling beruntung di dunia ini."

Nafas Pak Syarif tinggal satu-satu. Beliau... duh... nampak keringat bersarang di dahi beliau. Witri dan Fhatmi tahu bahwa bapaknya... hmm... kayaknya sudah rindu ingin bertemu Allah.

Witri: "Pak... hiks... hiks..."

Pak Syarif: "Nak, kenapa kamu menangis? Bentar lagi aku akan bertemu dengan Dzat yang sangat aku cintai. Aku sangat rindu ingin bertemu denganNya."

Fhatmi: "Hiks... hiks... Pak, berilah kami nasihat lagi! Hiks... hiks..."

Pak Syarif: "Nak, jadikan menghafal Qur'an sebagai prioritas nomer tiga. Jadikan memahami Qur'an sebagai prioritas nomer dua. Jadikan mengamalkan isi Qur'an sebagai prioritas nomer satu."

Witri: "Enggih Pak. Kami akan melaksanakan semua dhawuh Panjenengan."

Pak Syarif: "Nak, hmm... nafas terasa semakin berat. Duh... yuk kita bersama-sama membaca Al Fatihah tiga atau lima kali!"

Akhirnya, semua yang hadir membaca Al Fatihah bersama-sama dengan Pak Syarif. Saat selesai membaca Fatihah tiga kali, tiba-tiba Pak Syarif terdiam. Beliau tersenyum menghadap ke langit sambil berkata lembut, "Nak, ada rombongan tamu. Mereka bukan manusia, tapi juga bukan jin."

Dengan tangisan tertahan, Fhatmi bertanya, "Si... si... siapa mereka? Apakah para malaikat???"

Pak Syarif tak mampu lagi menjawab. Beliau hanya mengangguk pelan, tersenyum... memejamkan mata. Lima menit kemudian... beliau sudah tidak bernyawa lagi.

------

Jangan Pernah Keluar Rumah Tanpa Membawa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang