Malam itu rumahku ramai. Anak kecil berlarian berebut kue nastar di ruang tamu. Menantu dan anak perempuanku memasak di dapur. Di teras, suara berat anak dan menantu lelakiku kudengar sayup tertawa-tawa kecil, mengepulkan asap rokok yang aromanya menyempil di antara kuatnya wangi sedap masakan dari dapur. Kudengar televisi juga menyala, diselingi suara perdebatan remaja tanggung berebutan siaran.
Hatiku diam-diam terenyuh. Saat suara demi suara perlahan menghilang, menyisakan sayup musik religi dari siaran televisi yang lupa dimatikan. Sejurus kemudian rumahku sunyi senyap. Menyisakan suara jejangkrik diselingi dengung belalang di kejauhan. Sesekali, cicak berdecak di dinding kamar seolah menertawakan malam yang kian dalam.
Dalam sunyi, aku menyambatkan doa. Perih menjalari sekujur tubuhku yang telah melemah. Aku telah menjadi tidak berdaya. Seminggu lalu, kudengar dari bisik-bisik tetangga yang melayat, aku telah kehilangan suamiku. Katanya, dia telah terlebih dahulu pulang. Pada-Nya. Ah! Seketika kepedihan menggenang di sudut mata. Mengumpulkan berjuta penyesalan yang masih tersisa.
Aku menangis. Menghadapi kenyataan bahwa kini tinggal aku yang harus merasakan betapa sepi kamar ini meski rumah dipenuhi orang. Dalam kegelapan penglihatanku, hanya sesekali kusadari perawatku datang ke kamar, memastikan bahwa aku tidak buang air di popok yang sekarang selalu terpasang di tubuhku. Oh, Emak! Maafkan aku! Mungkin ini lah akibat dari meninggalkanmu saat kuputuskan menikah dengan suamiku dulu. Kuharap engkau mengampuniku, Mak!
Aku menangis sepanjang sisa malam. Hingga keesokan harinya, aku hanya masih hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemara Tunggu (COMPLETED)
Short StoryKumpulan CerPen yang kami buat secara amatir. (Update tiap Hari Minggu, Selasa dan Rabu)