Kamu memandangi bulan menyabit di langit malam berawan. Matamu nanar menepekuri cahaya perak bulan yang terselingi gelap uap air. Aku di sisi lain, di balkon rumahku yang tak seberapa luas, memandangi kepedihan yang tergurat di air mukamu yang kesepian.
Malam itu, rok sebetismu terayun-ayun oleh angin sepoi yang menghembuskan aroma dingin dari kejauhan. Tetapi kamu tidak beranjak. Sinar bulan bagai telah membekukanmu. Menghipnotis kesadaranmu hingga tak menyadari rintik hujan telah setitik demi setitik membidik badanmu yang hanya tertutup kain tipis kemeja putih bercorak mawar.
Kita telah lama bertetangga, tetapi kita tidak pernah saling tegur sapa. Aku hanya berani memerhatikanmu dari jarak tertentu. Wajah cantikmu yang selalu menyiratkan sesal yang teramat sangat membuatku ragu untuk mengganggu kekhidmatanmu mengarungi hari.
Kamu tahu? Meski aku tidak pernah melihat senyumanmu, tapi kuduga jika itu terjadi, binar wajahmu yang kini membiru itu akan seketika berbelingsatan. Menyemburatkan cahaya warna-warni yang membuncah tak beraturan menyilaukan mata. Memukauku. Membuatku jatuh lebih dalam pada kata harapan dan imaji.
Sesekali aku berpikir, mungkinkah aku akan bisa melihat senyummu suatu saat? Mungkinkah aku bisa melihatmu diliputi kerlap-kerlip cahaya kehidupan yang hangat? Yang menghangatkanmu dari dingin hati yang kini tergambar jelas dari cekung matamu?
Aku,di sisi lain hanya berdiri mematung, menyaksikan tubuh basahmu yang kini terguyur hujan sambil terus memerhatikan langit malam yang telah kehilangan bulan di balik awan. Aku tahu, kematianmu beberapa tahun lalu memang tragis, kumaklumi jika selama ini aku tidak pernah melihat wajah sumringahmu. Kumaklumi jika sejak kita menjadi tetangga di alam yang sama, kita tidak pernah saling tegur sapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cemara Tunggu (COMPLETED)
Short StoryKumpulan CerPen yang kami buat secara amatir. (Update tiap Hari Minggu, Selasa dan Rabu)