SALAM

38 8 9
                                    

Malam terang bulan. Cahaya peraknya memantul dari riak air danau yang tersapu angin sepoi berhawa dingin. Aku duduk termangu. Mendapati diri yang terjebak dalam dunia sederhana yang sulit dipahami.

"Heh! Ngapain lu?" suara Salam mengejutkanku. "Ngelamun aja, lu. Mikirin apaan?"

Aku tersenyum. "Lu kayak nggak ngerti aja."

Dia terdiam sejenak. Tangannya lamat-lamat merangkul bahuku.

"Lu yang sabar. Lu kan tahu, hidup itu banyak ujiannya," ucapnya sambil menepuk bahuku.

Sekarang aku yang terdiam. Ada sesak yang perlahan merambat di sela rongga dadaku.

"Apa ini nasib orang susah kali, ya?" keluhku menatapnya nanar.

Dia mengangkat bahu. Sekarang dia mengusap bahuku.

"Lu udah bawa ke dokter?"

"Gua gak ada duit."

"Lu ada berapa?"

"Cuma setengahnya."

"Tabungan gua mungkin cukup buat nambahin, besok lu bawa cewek lu ke dokter!"

Aku sontak mendongak. "Serius, lu?"

"Iya."

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Salam memang orang baik. Tanpa pikir panjang, kukecup bibir Salam yang baru saja mengepulkan asap rokok. Aku tahu Salam selalu menginginkannya, bahkan sejak kami masih sekolah dulu.

Salam terkejut. "Risma! Maksud lu apaan, nih?"

"Tanda terima kasih," ucapku, tersenyum, lalu memberikan ciuman berikutnya.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang