Kota Hujan

47 9 4
                                    

Akhir-akhir ini sering hujan. Penduduk kota kocar-kacir mencari tempat berteduh kalau hujan turun. Sekarang, hujan sudah semacam monster yang kalau datang membuat semua orang takut. Bukan cuma banjir, hujan juga telah menjadi penyebab dari bencana lain yang bahkan lebih parah.

"Pak, tagihan bulanan sudah dibayar belum?" tanya ibuku di tengah makan malam.

"Sudah, Bu," jawab bapakku singkat.

Wajah ibuku seketika tampak tenang.

"Heh, Dolan! Kenapa seharian ini kamu tampak gelisah?" tuduh kakakku pada Dolan, adikku yang memang tampak aneh sepulangnya ke rumah.

"Oh! Tidak apa-apa, kok," gagapnya sambil meneruskan makan malam.

"Kling nong!" Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi. Semua orang saling pandang. Siapa yang datang di tengah hujan begini? Ibuku berdiri untuk membuka pintu.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya ibu.

"Benar ini rumah Saudara Dolan?" tanya orang berseragam di balik pintu, tegas.

"Benar. Ada apa, ya?" Ibu terheran-heran.

"Tadi siang Saudara Dolan terekam melanggar Undang Undang Tahun 2045 tentang Kebersihan. Saudara Dolan akan kami tahan sementara kasusnya diproses," terang salah seorang pria berseragam yang menerjang hujan dengan kostum khusus itu.

Kami sontak menatap Dolan dengan tajam. Ada resah yang tak terucap di hati kami masing-masing. Wajah Dolan jelas memucat. Kami tahu, dia memang telah melakukan hal yang salah meski belum mengakuinya. Akhirnya, malam itu, di tengah hujan yang mengguyur seluruh kota, Dolan terpaksa diciduk polisi karena telah membuang sampah sembarangan.

Ya, beberapa tahun terakhir, seluruh warga dunia sedang dilanda bencana hujan asam berkepanjangan. Segala yang diguyurnya akan meleleh bagai lilin yang terbakar jika tanpa perisai pelindung yang kami bayar setiap bulan. Maka, dalam lima tahun terakhir, segala jenis tindakan yang mengotori alam dan menyebabkan polusi adalah pelanggaran hukum.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang