Hubungan

97 19 8
                                    

Semerbak wangi senja membumbung memenuhi kota yang pekat oleh asap hitam kendaraan. Macet. Riuh. Padat dan semerawut. Kota ini menggambarkan segurat ironi yang menyembulkan senyumku.

Secangkir teh hangat dan beberapa potong biskuit menemaniku yang sedang asyik memerhatikan senja menjingga di balkon hunianku yang berada di ketinggian. Sebenarnya pemandangan ini menjemukan. Tidak ada kehidupan alami yang bisa kunikmati. Udara sisa metabolisme manusia bahkan sudah sampai pada tahap mengusir awan ke tempat yang lebih tinggi. Apalagi kabut, aku sampai bingung membedakan selaput tipis kabut dengan asap hitam kendaraan bermotor.

Tapi senja kali ini lain. Aku sedang ingin menikmatinya. Menghirup aroma manis gula yang mengepul bersama asap tipis dari cangkir teh, mencicipi cita rasa gurih biskuit gandum yang terkecap ketika meyentuh permukaan lidah.

Akhir-akhir ini aku lelah. Kombinasi ini membawa kedamaian kembali menggerayangi sekujur tubuhku yang dipaksa menjadi sempurna setiap saat. Ya, aku ini public figure. Tidak boleh ada kata cacat. Haha. Aku mencintai pekerjaan ini. Tidak. Aku memujanya.

Tidak boleh ada yang menghalangi jalanku.

"Drrrrdddd ... Ddrrrdddd!"

"Ya?"

"Kamu dimana?"

"Mau apa?"

"Kamu dicari banyak orang."

"Oh, begitu, ya? OK." Kuputuskan sambungan telefon itu.

Sejurus kemudian, ada pesan masuk.

"Kamu harus segera menyerahkan diri! Kamu tidak mungkin terus bersembunyi." Damn it! Siapa peduli!

Kulirik layar monitor yang menyala, memutar vidio yang sedang viral di negaraku. Pembunuhan seorang seleberiti. Sahabatku. Aku sudah bilang, tidak ada yang bisa menghalangiku. Haha.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang