BLENDER

59 13 21
                                    

"Tok! Tok! Tok!" Kuketuk pintu rumah ber-cat dominan putih itu.

"Sebentar!" jawabnya yang setengah berteriak dari dalam rumah.

Pintu terbuka.

"Ah, selamat siang, Bu!" sapaku dengan senyum semanis mungkin. "Boleh mengganggu sebentar?"

"Ada apa ya, Bu?" ucap wanita muda nan cantik itu, datar.

"Ini, Bu, saya membawa produk blender terbaru, saya ingin melakukan demonstrasi cara pakainya. Saya lihat rumah ibu yang paling besar di sekitar sini. Saya yakin warga lain pasti tertarik untuk datang. Apa boleh saya menjadikan rumah Ibu sebagai tempat demonstrasi?" jelasku penuh rayu. Matanya seketika nyalang tergoda.

"Oh, begitu, ya?" katanya datar, meski aku tahu dia tertarik. "Boleh saja, sih. Tapi gimana cara orang lain bisa tahu?"

"Nanti saya yang akan memberitahukannya sambil keliling, Bu."

"Boleh, deh. Kebetulan saya juga lagi jenuh," ucapnya terkesan angkuh.

"Baiklah kalau begitu, sampai jumpa nanti siang ya, Bu!"

"Iya."

***

Tidak kusangka, antusiasme warga lain begitu besar. Mungkin karena memang rumah itu istimewa bagi warga sekitar.

Pada saat waktu demonstrasi tiba, para ibu telah duduk rapi sambil memerhatikanku dengan saksama. Kemudian aku menjabarkan keunggulan blender yang telah seharian kutenteng, berkeliling.

"Ada satu lagi kelebihan blender ini, Ibu-ibu," ucapku bersemangat, "blender rancangan para ahli Eropa ini juga bisa mencincang daging hingga lembut. Nah, kita lihat, ya, Ibu-ibu."

Aku mengeluarkan beberapa potong daging segar yang telah bersih dari tulang. Kemudian memasukannya ke dalam blender. Kunyalakan dan dalam sekejap daging telah tercincang sempurna. Ibu-ibu komplek terkesima.

"Ngomong-ngomong, yang punya rumah mana, ya? Kok dari tadi nggak muncul-muncul?" celetuk seorang ibu dari tengah barisan.

Aku seketika terdiam. Mengakui dalam hati, kalau selingkuhan suamiku yang satu itu telah kucincang hingga halus. Hahaha.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang