Menjelang Subuh

61 16 19
                                    

Kubuka pintu rumahku. Sepi. Fyuh! Aku mengendap menuju kamarku. Kutahan gemerincing gantungan tas kulit imitasiku agar tidak membuat kegaduhan. Kubuka hak tinggiku agar tidak meninggalkan suara bergemeletuk di lantai. Kujinjitkan langkahku untuk mengurangi suara seefetik mungkin. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya.

Sesampainya di kamar, kutanggalkan pakaian ketat tanpa lengan dengan rok mini yang kupakai. Kucuci wajah untuk menghapus sisa riasan yang masih menempel. Ah, malam ini lumayan. Lelah, tetapi uang yang kubawa pulang cukup besar. Syukurlah!

Setelah selesai dengan rutinitasku setiap pulang bekerja, aku menghampiri kamar anakku. Adzan subuh sebentar lagi, dia selalu minta dibangunkan untuk sholat.

"Dedi ... ayok bangun. Sebentar lagi subuh." Tubuh kecilnya menggeliat ketika kuguncang. Dia mengeluh dan memutar badannya. Tingkahnya yang seperti ini membuatku ingat bahwa dia memang masih anak-anak. Sungguh sangat wajar.

"Dedi ..." sekali lagi kucoba membangunkannya.

Mata kecilnya perlahan menganga.

"Eh, Bapak sudah pulang?" wajahnya merengut, tangannya menggosok matanya yang masih mengantuk. Aku tersenyum.

Cemara Tunggu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang