13

210 16 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Dari mana aja lo!? Ngeluyur terus, bukannya cepet pulang. Nyusahin aja idup!"

Niken berhenti, kedua tangannya mengepal erat ketika baru juga ia berjalan dua langkah dari pintu masuk rumahnya, namun langsung mendapat 'sapaan' sinis dari wanita yang sedang duduk di kursi meja makan dan tengah menyibukkan diri dengan batangan kanker yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah wanita itu.

Niken menarik napas pelan, mencoba menekan kemarahannya sampai ke titik terendah. Omongan-omongan sinis dari sosok wanita yang melahirkannya itu bahkan sudah didengarnya hingga ratusan kali, jadi seharusnya ia sudah bisa tahan dan tidak mengambil pusing lagi kan?

Karena itu, dengan tetap menjaga kewarasannya, Niken menjawab datar, "Aku sekolah ada latihan drama dan Ekskul." Katanya kemudian melanjutkan langkahnya.

Namun belum juga ia sampai ke pintu kamar, suara wanita berambut pirang itu kembali terdengar. Kali ini bahkan disertai dengan kekehan sinis dan meremehkan. "Lo ikut kayak gitu juga nggak bakal bikin lo setara sama anak-anak di sana. inget, lo bisa sekolah disana juga karena adek bokap lo yang nggak berguna itu kasian. Jadi, mending lo cari kerjaan supaya nggak nyusahin. Nggak bapak, nggak anak sama aja!" makinya.

Puri, ibu kandung Niken. Perempuan yang hanya hobi menghisap batangan kanker dan berjudi online itu nyatanya selalu menyesali hidupnya yang harus berakhir bersama Johan—ayah Niken—yang sekarang berakhir di RSJ karena mengalami kebangkrutan. Puri yang biasa hidup bergelimang harta dan berkecukupan—tidak kuat mengalami sanksi sosial dan dijauhi oleh teman arisannya, sehingga menganggap menikah dengan Johan adalah hal yang paling salah sepanjang hidupnya. Makanya, wanita setengah baya itu kerap kali melampiaskan kemarahannya kepada Niken karena wajah sang putri yang sangat mirip dengan suaminya itu.

Niken memejamkan mata sebelum akhirnya kembali meneruskan langkahnya. Dibukanya pintu kayu berwarna cokelat di depannya itu dan ditutupnya kembali dengan kasar hingga terdengar suara debuman keras sebagai efeknya. Cewek itu langsung melempar tasnya ke single bed, mengambil bantal dan menutupi wajahnya kemudian berteriak sekencang mungkin. Niken benci kehidupannya. Dia benci terlahir dari orangtuanya yang memiliki kekurangan. Ayahnya yang tidak waras, ibunya yang juga tidak waras.

Dia membenci hidupnya yang telah terengut karena keserakahan ayahnya yang berimbas terkena tipu oleh rekan kerjanya sendiri. Dia benci keluarganya.

Setelah selesai dengan teriakan keputusasaannya, Niken meletakkan bantal itu di pangkuannya. Cewek itu menatap lurus ke arah kaca yang berdiri tegak dan kini sedang menampilkan refleksi dirinya di sana. Wajah suram yang selalu menampilkan senyuman palsu, padahal kesengsaraan tengah menggerogoti jiwanya. Karena hanya dengan itu Niken bisa mendapatkan perhatian orang-orang, walaupun bukan dari keluarganya. Setidaknya, semua anak-anak di SMA Sriwijaya mengidolakannya.

Semua, kecuali satu.

Raut wajah Niken mengeras, mengingat satu cowok yang bahkan tidak meliriknya sama sekali disaat semua anak-anak sibuk menggodanya. Satu cowok yang bahkan mengabaikan sapaannya, namun terlihat berbeda ketika sedang bersama teman sebangkunya. Bibir mungil itu kemudian menyunggingkan senyuman sinis ketika satu ingatan kembali membawanya kepada satu kejadian yang tanpa sengaja dia lihat.

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang