21

184 19 1
                                    


Embusan angin pertama yang menerpa kulit wajah Lili ketika mereka telah menginjakkan kaki di bandara sedikit membuatnya menggigil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Embusan angin pertama yang menerpa kulit wajah Lili ketika mereka telah menginjakkan kaki di bandara sedikit membuatnya menggigil. Hari sudah malam ketika mereka sampai.

Lili nampak tersentak ketika sebuah jaket bertengger melingkupinya yang tadi kedinginan. Kepalanya mendongak, menatap cowok jangkung yang berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong celana jeans. Tatapan tanya yang Lili lontarkan kepada Fajir—si pemilik jaket yang kini menaunginya—nyatanya tak mendapat jawaban. Alih-alih, cowok itu malah kini menyibukkan dirinya dengan HP. Lili mendesah pelan, hendak melepaskan jaket itu namun tiba-tiba suara Fajir terdengar. Membuatnya urung mengembalikan jaket itu.

"Lo nggak bawa jaket kan?" sebuah tebakan yang tepat sasaran.

Lili menaikan alisnya dengan pipi mengembung pelan. "Kok tau?"

"Kalo lo bawa jaket udah dari tadi pasti lo pake," Jawabnya enteng. "jadi punya gue dipake aja. Udara malem nggak baik buat kesehatan," Imbuh Fajir, kepalanya bergerak mencari keberadaan dua orang lainnya yang tadi pamit ke minimarket tetapi sampai sekarang tidak juga datang-datang. "sepupu lo nggak nyasar kan?"

"Nggak lah, lagian ada Nu juga. Mungkin mereka antre." Balas Lili yang kini ikutan celingukan mencari keberadaan dua orang di tengah banyaknya kerumunan.

Hal yang sangat unik dari bandara adalah ramainya yang tidak pernah sepi. Sebuah keramaian yang temporer, namun juga kekal dalam definisinya. Dulu sekali, Lili pernah bercita-cita untuk menjadi seorang staff penerbangan karena menurutnya pekerjaan itulah yang tidak akan membiarkan sepi menghinggapinya. Sejak lama berteman dengan kesunyian membuat Lili menginginkan kehidupan lainnya. Yang mampu mengusir kesepian dari hidupnya.

Pandangan Lili menyapu pada kerumunan banyak dengan spanduk dan beberapa orang yang memegang sebuah kamera profesional. Keningnya mengernyit, ia tahu ini situasi apa. Tetapi, karena tidak menyangka akan berada dalam keadaan ini—biasanya hanya dia lihat di explore instagram saja—Lili tetap ditempatnya, bahkan ketika kerumunan muali berlarian mendekat ke tempat mereka berdiri. Cewek itu menatap lurus kepada tulisan spanduk dan beberapa kipas dengan foto wajah anggota group band dari negeri gingseng bernama Element.

Dan ia menepuk dahi ketika ingat kalau nanti malam group band korea itu akan mengadakan tur konsernya di Jakarta. Astaga!

"Li, awas!" seruan Fajir tak sempat didengarnya lagi karena bersamaan dengan beberapa orang yang keluar dari pintu kaca dengan masker hitam dan hodie yang menutupi kepala seruan dari arah kerumunan yang di dominasi kaum hawa itu berteriak histeris. Dengan jenis teriakan yang naik dua level dari sebelumnya. Bumi berguncang, suara bising santer terdengar, dan Lili hampir ikut tertarik kerumunan yang berlarian kalau saja tidak ada tangan kokoh yang menariknya hingga membentur. Hingga masuk ke dalam bumi yang kini memeluknya.

"Lo nggak pa-pa?"

"Uh?" Lili mengerjapkan mata sekali sebelum menyadari posisinya. Dengan cepat ia mendorong tubuhnya kebelakang; melepas pelukan. Meski sedikit kikuk dan merasakan kalau wajahnya mulai memanas, cewek itu tetap mengangguk sebagai jawaban. "Ng-nggak papa kok! Makasih ya..."

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang