27

192 19 2
                                    

            Kejadian kemarin seperti tembok tebal yang mengurung Lili

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






            Kejadian kemarin seperti tembok tebal yang mengurung Lili. Sebenarnya ia sama sekali tidak mood untuk masuk ke sekolah pagi ini kalau bukan karena ada ulangan bu Yun di jam ketiga nanti. Juga alasan lainnya adalah karena kolom absensinya sebersih buku baru alias nggak pernah di coret dengan tiga huruf horor—a,i,s—tentu saja ia jadi memikir dua kali untuk bolos. Lili akan memertahankan rekornya tahun ini. Disamping itu, dirinya sudah mulai memaafkan masa lalunya, dan hidup normal dengan banyak teman yang mengelilinginya. Hal itu dibuktikan bagaimana teman sekelas tidak ada yang bereaksi dan malah sibuk ikut menertawakan foto-foto jadul mereka. Sedangkan anak-anak cowok? Well, ternyata mereka bisa 'normal' lebih dari yang diperkirakan. Seperti Ares dan Dipo juga Angga dan beberapa anggota group chat 'Sataan taubat' yang memberikan pemahaman kalau fase menuju kedewasaan itu adalah "anak-anakàalayàremajaàalayàdewasa" maka tak ada yang salah untuk segala masa lalu. Ares bahkan menambahkan dengan petuah sok bijaknya kalau masa lalu ada untuk menjadi pembelajaran dan kenangan. Ya, seperti mantan misalnya.

Dan karena omongan yang sok benar tetapi memang benar itulah Lili kembali meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang salah dengan masalalu-nya, yang salah adalah dirinya sendiri yang terlalu memikirkan hal itu. Padahal segala praduga negatif tentang omongan orang yang ia pikirkan itu sama sekali tidak terjadi. Dia tidak dalam masalah apapun yang menyangkut foto masa lalu itu. Malahan, statusnya bersama Fajir lah yang menjadi sorotan. Sarah berulang kali mengatakan kalau Fajir itu keren abis—menyuarakan sebagian besar pikiran Sriwijayans atas apa yang mata mereka lihat dan dicerna oleh otak mereka—tentu saja seruan Sarah itu langsung diiakan oleh teman-teman sekelas mereka yang isinya mayoritas murid perempuan itu.

"Jir, liat PR Ekonomi nomor tiga sampe sembilan dong?" langkah Ares berderap cepat memasuki ruang kelas sambil lepaskan tas selempang hitamnya, meletakkan di atas meja lalu mencari buku tulisnya.

Fajir menunjuk dengan dagunya pada kumpulan anak-anak yang sudah berkumpul di membentuk seperti sebuah forum diskusi. Hening tanpa banyak suara, sungguh hal yang selalu terjadi jika sedang melakukan kegiatan rutin di pagi hari—menyontek.

"Lo mau liat atau mau plagiat?" ujar Angga, yang masuk ke dalam jajaran forum diskusi. Cowok itu menatap sekilas sebelum kembali melanjutkan kegiatan menconteknya karena waktu yang semakin mepet dan jawaban dari tugas yang diberikan itu banyaknya nggak nanggung-nanggung.

"Hsst, berisik!" jawab Ares, membawa bolpoinnya ke mulut. "Pul minggir oi, tempat gue ini." ucapnya mengusir pada Ipul yang duduk di kursinya.

Ipul berdecak karena kegiatan menconteknya terganggu, namun ia tidak protes dan mencari tempat lain.

Ares duduk menghadap ke meja belakangnya dengan posisi kaki mengangkangi kursinya, dan mulai bersiap menyontek. Waktunya sudah mepet karena jam pelajaran Ekonomi ada di jam pertama dan kedua. Padahal ia sudah niat untuk berangkat lebih pagi hari ini mengingat karena ia belum menyelesaikan PR Ekonominya, tapi apa daya kasur yang memeluknya begitu erat sampai alarm di HP-nya yang berbunyi tak di dengarnya. Tak sampai di sana saja, jalanan sekitaran Universitas Sriwijaya pagi ini macet total—lebih macet dari hari biasanya—sehingga waktunya semakin termakan di jalanan.

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang