31

415 26 2
                                    

            Niken menarik napas sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







            Niken menarik napas sekali. Duduk di tempat persembunyiannya sejak tadi sangat menyulitkan karena beberapa kali ia melihat teman-teman sekelasnya bersliweran di sekitar tempatnya bersembunyi itu. Namun, tak ada pilihan lain. Karena tadi pagi setelah mengurus segala berkas kepindahannya di ruang tata usaha dia tidak langsung pulang dan lebih memilih berkeliling SMA Sriwijaya, lalu berakhir di perpustakaan karena Niken ingin 'menyapa' gedung-gedung tempatnya menuntut ilmu itu untuk terakhir kalinya.

Alasan kepindahannya dari SMA Sriwijaya karena insiden waktu itu memang bukan satu-satunya alasan. Lebih dari itu, Niken merasa perlu mencari suasana baru, orang baru, dan kebahagiaan baru. Karena itu, ia berniat akan pindah ke rumah adik dari papanya yang tinggal di Solo. Bibinya juga mengatakan kalau beliau akan mengajak serta kakaknya (papa Niken) ke Solo agar beliau bisa merawat sang kakak dengan baik. Sementara mama Niken akan tetap di sini. Entah bersama siapa, Niken juga tidak tahu. Hubungannya dengan sang mama tidak akan membaik seperti hubungan ibu-anak yang lain, dan Niken cukup mengerti untuk tidak meminta lebih. Saat ini ia hanya ingin mengikhlaskan dan melepaskan belenggu yang mengikatnya. Ia tidak akan memaki takdir, namun mulai mencoba menjalaninya.

Cewek itu bergegas berdiri, menepuk rok bagian belakangnya yang terkena debu karena duduk sembarangan—perpustakaan sudah tutup karena jam sekolah telah usai satu jam tiga puluh menit yang lalu—kemudian sedikit mundur ke balik pohon saat suara Ares terdengar menggelegar menuju pelataran parkir. Tak lama sosok itu muncul dengan pakaian olahraga, bersama Fajir dan Dipo, juga beberapa anak cowok di kelasnya yang lain. Mereka nampak mengobrol renyah sambil mengeluarkan motor dari tempatnya diparkirkan.

Itu teman-temannya, yang mungkin telah kecewa dengan kelakuannya. Disaat mereka menawarkan persahabatan tulus, ia malah bertingkah sebaliknya. Satu tangan Niken yang memegang paper bag kecil tak terasa mengepal dengan pandangan sendu menatap ke kerumunan teman sekelasnya. Atau, mantan teman sekelasnya.

Niken masih menatap lurus ke depan hingga tak sadar posisinya kini sedikit tak disembunyikan batang pohon di depannya, dan pada saat itu—dengan sedikit terkesiap—cewek itu langsung kembali bersembunyi ketika sepasang mata mengarah ke arahnya berdiri.

Sepasang mata milik Lili. Dan dia tidak boleh ketahuan!

Ini bukan momen yang baik untuk bertemu mereka, dan sepertinya tidak akan ada momen yang baik untuk bertemu mereka. Niken merasa bermental tempe karena ia bahkan tak berani mengucapkan salam perpisahannya secara langsung, alih-alih ia malah menulis surat untuk teman-teman sekelasnya itu

Setelah menunggu beberapa menit akhirnya suara deru motor terdengar keras hingga semakin menjauh dan menghilang. Niken mengintip sekali lagi untuk memastikan segalanya telah aman, lalu ia berderap melangkah masuk ke koridor dan berjalan ke kelas XI S1. Kelas penuh dengan kenangan itu.

Sementara, keesokkan harinya penghuni XI S1 dihebohkan dengan penemuan surat cinta yang pertama kali ditemukan oleh Gilda, berlanjut ke Jelita yang datang bersamaan, hingga ketika kelas mulai terisi penuh, mereka berbondong-bondong mengecek laci mejanya masing-masing.

LiliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang