11th

514 53 4
                                    

Kau dan June sampai ditempat tujuan untuk mengisi perut. Kalian berjalan beriringan tapi tidak saling menautkan tangan karena kau tidak mau.

Bukan gengsi. Hanya saja, sedikit tidak suka jika diperlakukan seperti ini karena kau tidak terbiasa.

Dan, sampai didalam restoran, kau dan June melihat adegan yang membuat perasaan June hancur.

June hanya diam membeku, tangannya mengepal kuat. Kau yang paham, langsung mengajaknya untuk pergi meninggalkan restoran ini.

"Ayo kita pergi saja." ujarmu sambil menarik tangan June.

June tidak menghiraukan ajakanmu. Ia melepas tanganmu, lalu dengan hentakan langkahnya yang kasar ia menuju meja dimana mantan kekasihnya sedang makan berdua dengan laki-laki lain.

June menghajar laki-laki itu dihadapanmu dan juga mantan kekasihnya, Jieun.

"Puas kau merebut wanitaku, huh!" bentak June.

Kau terkejut saat melihat mereka saling baku hantam. Jieun yang pernah membentak bahkan menamparmu hanya bisa menangis melihat adegan yang tidak seharusnya terjadi ini.

Kau yang tidak bisa bersikap seperti Jieun, dengan sigap menarik lengan June.

"Cukup! Ayo pulang!" bentakmu pada June.

June menatapmu sendu, lalu beralih menatap lelaki yang dihajarnya dengan tatapan marah.

"Nikmati saja bekasku!" ucap June pada lelaki Jieun.

Sepanjang perjalanan menuju rumah kau dan June hanya diam.
Tentu kau sedang kesal dengan June, dan June paham hal itu.

Setelah sampai rumah, kau menarik June untuk duduk di sofa. Dan kau beralih ke dapur untuk mengambil air dan handuk kecil untuk membersihkan darah dari luka-luka terbuka yang ada di sudut bibir dan luka memar di pipi dan sudut mata June.

"Maaf." ucapnya.

"Bicaranya nanti saja, kau sedang kesakitan." sentakmu.

"Kau galak sekali."

"Memang."

June tidak berkutik saat kau sibuk membersihkan lukanya.

"Kau belum makan, Eunsoo-ya." ucapnya.

"Kau juga." jawabmu.

June menelan salivanya dan memilih untuk diam.

"Tetaplah dirumah. Aku akan cari makanan diluar."

Kau segera berdiri, meraih jaketmu dan melangkah menuju pintu. Dan sampai diambang pintu, June menarik tanganmu. Ia tidak menuruti apa katamu.

"Perempuan tidak baik jalan sendiri." ucapnya.

"Ck! Ini bahkan masih jam 4 sore. Aku akan aman." jawabmu.

"Aku tidak suka ada penolakan. Aku akan bertanggung jawab karena kau belum makan. Ayo."

Ia menarik tanganmu kasar.

Badanmu yang jelas sekali lebih kecil darinya membuat langkahmu menjadi sangat cepat.

"Ya! Kau kasar sekali." protesmu.

"Salah sendiri membantahku." jawabnya.

June membuka pintu mobilnya untukmu. "Masuk!"

"Tanpa kau perintahpun aku bisa masuk mobil sendiri." jawabmu.

Kau segera makan saat kau dan June sudah sampai dan makanan juga sudah tersaji di meja.

Bukannya cepat makan, June malah menatapmu lekat yang membuatmu tak nyaman saat menikmati makananmu.

"Cepat dimakan. Nanti dingin." ucapmu.

June tersenyum lagi lalu segera menyantap makanannya.

Setelah selesai, kaupun meminta June untuk mengantarnya pulang. Karena kau tahu pasti Ibu dan Kakakmu sangat mengkhawatirkanmu.

"June-ya."

"Hm?"

"Apa lukamu masih sakit?" tanyamu.

"Masih. Tapi tidak sesakit hatiku." jawabnya.

Kali ini kau yang diam mendengar jawaban June. Ia benar-benar merasa patah hati.

"Kau mengkhawatirkan aku?" tanyanya.

"Tentu saja! Aku melihatmu bertengkar secara live tadi." jawabmu.

Ia tersenyum separuh.

"Akhirnya, masih ada yang mau mengkhawatirkan aku."

"Ya! Jangan berkata seperti itu!" tukasmu.

"Kau tahu? Selama aku hidup, hanya nenekku dan kau yang mengkhawatirkanku. Dan sejak nenekku meninggal saat aku berusia 15 tahun, hidupku menjadi kacau sampai sekarang." ujarnya.

"Sebab itu aku berucap, jika aku tidak mengenalmu mungkin hidupku akan lebih sulit."

Kau lagi-lagi hanya diam. Kau bingung harus menjawab apa saat pria disampingmu yang notabene berperilaku dingin dan kasar menjadi begitu lemah.

Setelah melewati keheningan yang cukup lama. Kau dan June sampai dirumahmu.

"June-ya." panggilmu.

"Kenapa kau tidak turun? Sudah sampai." ujarnya.

Kini ia kembali berbicara seperti June yang biasanya. Tapi, masih ada kesedihan terlukis diwajahnya.

"Jika kau masih merasa terluka. Jangan sungkan menghubungi aku, ya." ujarmu.

"Iya-iya. Sudah sana turun. Ibu dan Kak Mino pasti khawatir." jawabnya.

Kau segera turun dari mobil dan June juga segera melajukan mobilnya meninggalkanmu.

"Tumben kau pulang terlambat? Kemana dulu?" tanya kakakmu yang menunggumu di sofa.

"Kerumah June, kak. Hehe maaf aku tidak mengirim pesan." jawabmu.

"Tidak apa. Cepat ganti baju dan makan malam, ya." ujarnya.

"Aku sudah makan dengan June, kak. Hehe."

"Wah-wah. Tampaknya June serius denganmu, Sayang." ucap Ibumu yang keluar dari dapur.

"Ah, Ibu. Kami hanya berteman." jawabmu.

"Berteman bukan berarti kalian tidak bisa menjadi pasangan, kan." ucap Mino sambil menaik-turunkan alisnya.

"Apaan sih, Kak. June kan anak orang terpandang. Masa mau sih pacaran denganku." ucapmu.

"Hey, jaman sekarang mana ada yang membedakan kasta seperti itu. Jika ia cinta padamu, kau bisa apa? Kau yakin akan menolak cintanya?" ucap kakakmu.

"Ish, kakak!" ujarmu sambil menahan malu.

Kakakmu hanya tertawa melihatmu salah tingkah.

Pipimu terasa panas, kau yakin semburat rona merah terlukis dipipimu.

"Ya sudah, sana cepat istirahat. Kau pasti lelah, kan." ujar Ibumu.

Kau pun menuruti apa kata Ibumu untuk cepat-cepat istirahat.

Setelah selesai membersihkan diri, kau belum ada niat untuk tidur karena besok jatah kuliahmu untuk libur. Jadi, kau memilih untuk mendengarkan lagu sebelum kau merasa mengantuk dan akhirnya tertidur.

Tapi, 15 menit kemudian, ponselmu berdering tanda ada telepon masuk, dan menampangkan nama June disana.

"Ada apa, Jun?" ucapmu.

"I need your help. Please."

***

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang