30

1.4K 216 13
                                    

***

"Apa kau dr. Jeon Jungkook?" tanya Lisa pada seorang pria yang baru saja keluar dari ruangannya. Pria yang dipanggilnya menoleh, menatap Lisa dengan sebelah alis terangkat. Heran karena seorang model terkenal ada di lorong rumah sakit kecil, tepatnya didepan ruang spesialis kandungan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya dr. Jeon dan Lisa bangkit untuk menghampirinya. "Kalau ini membutuhkan pemeriksaan, anda harus mendaftar ke bagian administrasi lebih dulu,"

"Apa hanya anda dokter kandungan disini? Selama lima tahun terakhir ini?"

"Ya, anda bisa-"

"Kalau begitu, saya butuh bantuan anda, bisa kita bicara di tempat yang lebih tenang?" tanya Lisa sembari melirik ruangan yang baru saja akan dr. Jeon tinggalkan. Jeon Jungkook membiarkan Lisa masuk kedalam ruangannya, keduanya duduk berhadapan di meja kerja dokter tersebut sampai Lisa mengungkapkan tujuannya datang. "Aku ingin memintamu menyingkirkan sebuah catatan rumah sakit untukku,"

Pembicaraan dan tawar menawar itu terjadi setidaknya selama 30 menit. Setelah 30 menit, di depan mata Lisa, Jungkook menghapus data pemeriksaan Wang Jiwon. Di depan mata Jungkook juga, Lisa memberikannya sejumlah uang. Entah sudah berapa banyak uang yang ia pakai untuk menyelesaikan masalah itu, gadis itu hanya berharap Jiwon dan ceritanya tidak pernah muncul lagi. Lisa hanya berharap Jiyong tidak akan mendengar apapun.

"Terimakasih, semoga kita tidak perlu bertemu lagi," ucap Lisa dan Jungkook hanya tersenyum untuk menanggapinya. Jungkook tidak tahu apa yang sebenarnya Lisa butuhkan namun ia senang atas sejumlah uang tunai yang baru saja ia terima.

Selang beberapa jam setelah Lisa tiba di rumahnya– masih di hari yang sama. Seorang pria tiba-tiba saja datang, pria itu masuk tidak melalui pintu depan, pria itu melompati pagar di sebelah rumah Lisa untuk menghindari mata yang mungkin mengawasinya. Sedikit berlebihan, namun ia tidak ingin kedatangannya di sadari orang lain.

"Tidak bisakah kau datang lewat pintu?" tegur Lisa ketika ia hampir melompat dari treadmillnya karena terkejut atas kedatangan Suga. "Apa yang membawamu kesini?"

Suga melemparkan tas di tangannya ke arah treadmill yang sudah Lisa matikan. Dan Lisa menunduk untuk melihat apa yang Suga berikan– uang.

"Kita pernah bertemu sebelumnya, iya kan?" tanya Suga membuat Lisa mengangkat kepalanya.

"Kapan?" tanya Lisa, gadis itu bangun hendak mendekat pada Suga namun Suga menghindarinya. Suga menghindari tatapan Lisa. "Bagaimana aku tahu kita pernah bertemu atau tidak kalau kau tidak menatapku? Dan kenapa kau memberikan uang itu padaku? Bukankah aku sudah bilang kau bisa mengambilnya?"

"Bagaimana kau tahu aku sudah menyelesaikan misiku?"

"Namjoon mempercayaimu, aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya juga. Dan sekarang kau-"

"Lalisa! Kakekmu-" bentak Suga yang tertahan karena tatapan Lisa.

Suga mendorong Lisa, sampai punggung gadis itu menabrak pintu di belakangnya, namun tidak mengatakan apapun. Mata keduanya bertemu dan perlahan-lahan mata Lisa bergetar, gadis itu meneteskan air matanya tanpa bisa ia tahan, tanpa ia mengerti kenapa tatapan Suga membuatnya menangis.

"Kau tidak pernah menyuruhku membunuh mereka. Aku yang membunuh mereka atas keinginanku sendiri. Apapun yang terjadi, kau tidak membunuh siapapun," ucap Suga dengan lembut namun di temani tatapan tajam yang tidak bisa Lisa hindari.

"Si- siapa-"

"Lalisa!" teriak seorang pria dari pintu depan, bersamaan dengan suara pintu depan yang terbuka kemudian tertutup lagi.

"Dua orang itu sudah mati, dan bukan kau yang membunuhnya," bisik Suga, sekali lagi sebelum kemudian ia melompat pergi meninggalkan rumah itu.

Di luar, Jiyong melangkah masuk ke ruang tengah. Sinar matahari pagi yang baru saja terbit menghangatkan ruang tengah tersebut, namun Jiyong tidak punya waktu untuk menikmatinya. Pria itu berlari ke lantai dua, mencari Lisa di dalam kamarnya. Sementara Lisa masih berusaha menenangkan dirinya, gadis itu tidak mengingat Suga, namun tatapannya membuatnya sangat sedih, sangat takut.

"Aku disini," ucap Lisa setelah ia menutup rapat-rapat pintu belakanganya. Meninggalkan tas berisi uang disana, berharap Jiyong tidak akan menemukannya. "Ada apa sayang?" tanya Lisa yang sekarang duduk di sofa ruang tengahnya, menunggu Jiyong menuruni tangga untuk menghampirinya.

"Apa ini?" tanya Jiyong, sembari melempar sebuah surat kabar di atas meja, di depan Lisa. Surat kabar pagi ini, merilis berita Lisa yang tengah hamil pergi menemui dokter kandungan di rumah sakit kecil pinggiran kota. "Kau bilang kemarin kau akan pergi menemui sutradara, tapi apa ini? Kenapa kau ada di rumah sakit kemarin?"

"Beritanya tidak benar," ucap Lisa hendak bersikeras. "Aku tidak hamil, sungguh-"

"Lalu kenapa kau pergi kesana? Kenapa kau membohongiku dan pergi kesana sendirian? Dimana managermu kemarin?" Jiyong terlihat marah. Tentu bukan hanya karena beritanya. Jiyong marah, sangat marah, karena apa yang terjadi terasa seperti de javu baginya.

Lisa tidak bisa mengatakan apa yang terjadi kemarin. Lisa tidak bisa mengatakan pada Jiyong kalau ia menemui dokter yang menggugurkan kandungan Jiwon. Lisa tidak bisa mengatakan pada Jiyong kalau ia mengetahui masa lalunya dengan Jiwon. Sekarang, otak Lisa membeku. Lisa tidak tahu apa yang harus ia katakan sementara bayang-bayang akan tatapan Suga tadi tidak juga bersedia melepaskannya.

"Aku- aku hanya menemui teman lama," ucap Lisa kemudian. Ia tidak bisa menemukan alasan yang lebih baik dari itu. Pertengkaran tidak terelakan, Jiyong benar-benar marah dan menuntut penjelasan Lisa. Sementara Lisa benar-benar tidak tahu apa yang harus kita katakan. Semua alasannya terdengar seperti sebuah kebohongan untuk Jiyong.

"Alasan- omonganmu benar-benar terasa seperti sampah," sinis Jiyong yang kemudian pergi, melangkahkan kakinya keluar dari rumah Jiyong karena sudah terlalu muak mendengar alasan Lisa.

Pintu depan tertutup, dan disaat itulah tangis Lisa pecah. Gadis itu menangis karena terlalu kesal pada dirinya sendiri juga pada keadaan yang tidak dapat ia kendalikan. Jiyong akan membencinya, kalau sampai pria itu tahu apa yang di perbuatnya. Namun merahasiakan perbuatannya itu pun membuat Jiyong muak. Kini gadis itu menyesal. Menyesal karena sudah terlalu marah hingga tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Menyesal karena ia melakukan semuanya sendiri tanpa berdiskusi dengan siapapun. Menyesal karena sekarang keadaan justru menjadi lebih buruk untuknya.

***

06:30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang