It's Me | 17

1.3K 98 0
                                    

Arsyfa mematikan kompor gas di dapur setelah tumis brokoli dengan daging ayam yang ia masak matang. Hal itu mengundang kedatangan Dedi ke dapur.

Dedi tersenyum menatap putrinya yang tengah memasukkan nasi ke dalam kotak makanan lalu menambahkan lauk yang baru saja ia masak.

"Buat Ayah mana, nih?" tanya Dedi sembari berjalan ke arah Arsyfa. "Ayah lapar."

Arsyfa menoleh ke arah Dedi. "Ayah tenang aja, buat Ayah pasti ada kok."

Arsyfa memang sengaja memasak tumis brokoli dengan daging ayam untuk ia berikan pada Athif. Ia memang memasak banyak agar ia bisa memakannya juga bersama ayahnya.

"Ayah tunggu aja di meja makan."

"Oke."

Arsyfa menyajikan makanan yang sudah ia masak di atas meja. "Silakan dimakan!"

Arsyfa duduk berhadapan dengan Dedi untuk memudahkan ia berbicara dengan ayahnya itu. Ia memasukkan nasi ke dalam piring ketika Dedi memberinya pertanyaan.

"Kalau kamu makan sekarang, berarti kotak makanan tadi buat orang lain. Kalau boleh tahu, buat siapa kotak makanan itu? Buat pacarmu?"

Pacar? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu, Arsyfa menggelengkan kepalanya.

"Terus siapa?"

"I-itu..." Arsyfa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Padahal jawabannya mudah untuk dijawab. "Buat temannya Arsyfa."

Entah mengapa kata 'teman' rasanya agak susah diucapkan olehnya. Karena 'teman' ini adalah spesial, orang yang dicintainya. Ada satu sisi dalam dirinya yang menginginkan kata yang lebih dari seorang teman.

"Teman cowok atau cewek?" tanya Dedi lagi. Sepertinya Arsyfa perlu siap-siap untuk diwawancarai oleh Dedi.

"Cowok," ucap Arsyfa cepat sembari menambahkan lauk ke dalam nasinya. Lalu ia langsung memakannya. Jelas sekali ia menghindari berbagai kemungkinan pertanyaan yang akan ditanyai oleh Dedi.

"Pasti teman cowok yang kamu suka, kan?" tebak Dedi.

Nah, kan? Tebakan Dedi yang sedang dihindari Arsyfa sepenuhnya benar.

Arsyfa menyudahi sarapannya. "Arsyfa udah kenyang. Arsyfa ke kampus dulu ya!"

Sengaja ia mengalihkan pembicaraan. Ia benar-benar canggung untuk berkata jujur pada Dedi.

"Alasan kamu!"

"Arsyfa berangkat dulu ya Ayah!" Arsyfa berpamitan pada Dedi.

"Kapan-kapan kenalin doi kamu sama Ayah ya?" Dedi tersenyum menatap Arsyfa cepat-cepat berlalu karena ucapannya.

***

"Kenapa gue deg-degan, ya?" Arsyfa berjalan menuju kelasnya Athif yang ada di gedung Teknik. Ia mulai menghafal jadwal kelas yang diambil Athif.

Arsyfa berdiri di ambang pintu, matanya mengedar ke seluruh penjuru kelasnya Athif. Di sana, Arsyfa tidak melihat tanda-tanda keberadaannya Athif. Hanya ada beberapa mahasiswa di kelas. Baru tiga langkah beranjak dari ambang pintu, manik mata Arsyfa bertemu pandang dengan Athif yang melangkah berlawanan dengannya.

"Athif!" Arsyfa menghentikan langkah Athif.

Tatapan Athif seolah bertanya kenapa.

"Ini bekal buat lo," Arsyfa memberikan kotak makanan yang ia bawa dari rumah.

"Gue udah makan," balas Athif dingin. Karena tak ada yang ingin ia bicarakan, jadilah ia hendak pergi dari hadapan Arsyfa. Namun, gagal. Arsyfa menghadangnya.

"Lo bisa makan ini kalo lo lapar," Arsyfa tidak mudah menyerah. Ia akan pergi kalau kotak makanan itu diterima oleh Athif.

"Gue gak butuh," ucap Athif lagi-lagi terkesan dingin.

"Ambil ya! Gue udah capek masakin ini buat lo."

"Emangnya gue pernah minta lo masakin buat gue? Gak, kan? Gue gak peduli mau lo capek atau gak karena udah masakin itu. Jadi, enyah dari hadapan gue!"

"Ambil dong, Athif."

"Gak, awas gue mau masuk kelas!"

"Ambil ya At-"

Bugh!

Kotak makanan yang tadinya berada di tangan Arsyfa kini berpindah ke lantai. Ya, itu ulah Athif. Cowok itu mulai dongkol mendengar permintaan Arsyfa sekaligus kesal dilihat bagaimana tutup kotak makanan itu yang sudah terbuka dengan nasi beserta lauknya yang kini berserakan di lantai.

Arsyfa menatap getir ke arah makanan yang susah-susah ia masak untuk Athif. Walaupun hanya makanan sederhana yang penting ia sudah berusaha memasak yang terbaik untuk Athif. Ia berusaha agar masakannya enak. Namun, percuma. Dengan tak memiliki perasaan bersalah sedikitpun Athif malah berlalu pergi.

Arsyfa sadar, seperti itulah yang dirasakan Athif. Susah-susah Athif berlatih basket, namun percuma karena Athif tidak bisa ikut turnamen.

Billy yang tadinya hanya melihat saja dari belakang Athif, kini menyapa Arsyfa.

"Kenapa makanannya dibuang? Kan mubazir, padahal bisa gue makan." Sebenarnya Billy tahu itu ulah temannya.

Arsyfa tak membalas apapun dari ucapan Billy. Cewek itu malah menunduk dan membersihkan makanan yang berserakan di lantai. Tak peduli jika fokus tatapan orang-orang tertuju padanya.

Billy menatap Arsyfa iba. "Sini biar gue bantu!"

Billy mengambil serokan sampah dan sapu untuk membantu Arsyfa membersihkan lantai.

"Sabar, Fa. Akhir-akhir ini Athif memang sensitif, jadi mudah marah. Lo tau sendiri kan penyebabnya?" Billy membuang nasi yang sudah tak pantas dimakan itu ke tempat sampah yang ada di dekat mereka.

Arsyfa mengangguk, "Gue khawatir sama Athif."

"Gue sebagai temannya juga khawatir. Kalo gue ada di posisinya Athif, gue pasti bakalan kayak dia juga." Billy menatap Arsyfa sekilas. "Kita sebagai temannya tetap harus memberi semangat buat dia. Gue senang liat lo yang begitu peduli sama Athif."

Arsyfa hanya tersenyum. Ia menundukkan kepalanya. Selain itu, ada alasan lain mengapa ia peduli pada Athif. Ya, tanggung jawab dengan caranya sendiri.

***

Maaf atas segala kekurangannya. See you next part.

13 April 2019

By

Warda

It's Me (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang