Seperti ada kehangatan yang mencairkan es di dalam dirinya Athif. Bahkan ia pun sadar, dulu ia tidak banyak bicara seperti sekarang. Pas SMA ia terkenal dingin dan pendiam. Bahkan ada teman kelasnya yang berpikir kalau ia galak. Walau begitu, tetap saja ada cewek-cewek yang menaruh hati padanya dilihat dari segi tampangnya Athif yang tergolong dalam kategori orang ganteng.
Di masa kuliah, ia jadi lebih terbuka pada teman-temannya walaupun sikap dinginnya kadang kala muncul bila ia sedang dalam mood yang kurang bagus.
Athif berusaha memasukkan bola basket ke ring. Lelaki berbalut celana pendek olahraga itu terlihat lincah dan leluasa. Toh ia sedang latihan sendiri. Karena sekarang bukanlah waktu untuk latihan bersama teman-teman se-tim basketnya sehingga tak ada yang memperebutkan bola darinya.
Ia memang latihan sendiri, namun ia tak sendiri, tak jauh darinya atau lebih tepatnya di tribun penonton yang paling dekat dengan lapangan duduklah Billy dengan fokus matanya tertuju pada benda yang sering disebut ponsel atau handphone di dalam genggamannya. Di koridor gedung kampus yang langsung menghadap ke lapangan basket ada banyak mahasiswi yang memfokuskan pandangannya ke arah Athif dan tentu saja Athif mengabaikan hal biasa itu.
Berkali-kali bola itu lolos masuk ke ring. Hingga Athif sendirilah yang sengaja melemparkan bola itu ke sembarang arah menandakan bahwa ia men- stop latihannya hari ini. Wajah cowok itu keringatan. Athif duduk di sebelah Billy yang sangat-sangat fokus dengan tontonannya.
"Sialan!" Athif mengumpat dan bergeser beberapa senti menjauh dari Billy karena mendengar suara-suara yang menjijikkan menurutnya dari ponsel Billy.
"Kayaknya otak sama mata lo perlu dicuci deh. Terus tuh suara bisa dimatiin kagak?"
Suara desahan terdengar jelas menyapa gendang telinga Athif dan itu berasal dari ponsel Billy. Bukan hal yang langka lagi kalau Athif memergoki sahabatnya itu tengah menonton video yang tidak sepatutnya ditonton. Kadang Athif bingung sendiri, bagaimana bisa ia bersahabat dengan orang yang kadangkala mencoba menyebar virus yang membuat otak Athif ikut kotor. Dan benar saja, otak Athif sudah tak polos lagi.
"Kayak lo gak pernah nonton aja." Sindir Billy.
"Itu pun lo ngejebak gue. Mana tau gue kalo itu video yang perlu disensor. Lagian gue baru sekali liat, lah elo udah gak kehitung lagi." Athif terlihat kesal mengingat matanya sudah tidak suci lagi. Bukan hanya sekali sih, kadang mata Athif tidak sengaja melihatnya kala bersama Billy yang tengah menontonnya.
Billy mematikan ponselnya dan mengakhiri tontonannya dan beralih menatap Athif.
"Umur gue udah dua puluh tahun, emang apa salahnya sih?" Tanya Billy.
"Ya salah lah, lo gak tau dosa bego?"
"Kata lo gue bego, jadi gue kagak tau." Billy sok-sokan gak tahu. Padahal jelas-jelas ia tahu kalau itu dosa. "Lagian nonton yang begituan bermanfaat buat gue di masa depan pas gue udah nikah."
"Terserah lo dah." Athif terlihat tak ingin melanjutkan obrolan tentang itu lagi. Tak ingin dirinya jadi membayangkan topik pembicaraan.
"Lo gak latihan futsal hari ini?" Tanya Athif merubah topik. Lalu bangkit berdiri.
Billy menggeleng.
"Udah sore, gue mau pulang."
Baru saja Athif hendak berlalu namun malah dicegat oleh Billy. Alhasil cowok itu menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" Sebelah alis Athif terangkat.
Billy menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia nampak ragu-ragu mengutarakan maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Me (END)✔️
Ficção AdolescenteArsyfa berusaha bertanggung jawab atas kecerobohannya. Namun, pada akhirnya kecerobohan yang ia coba sembunyikan terkuak hingga melebarkan jarak antara dirinya dan Athif, orang yang dicintainya. Ia ingin memangkas jarak itu. Tapi, jika bentangan jar...