Baiklah, aku akan berhenti.
🍂🍂
Arsyfa melirik jam yang tertempel di dinding ruang tamu. Sekarang sudah tengah malam. Namun, Dedi tidak juga pulang ke rumah. Jadi, ia begitu gelisah. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada ayahnya itu. Sebelum beranjak ke kamar, Arsyfa memastikan kalau ia sudah mengunci pintu masuk rumahnya.Walau begitu khawatir, matanya tidak bisa diajak untuk bekerja sama karena kantuk. Oleh sebab itu, ia memilih untuk tidur saja. Dedi memang tidak membawa kunci cadangan, tapi ayahnya itu pasti akan memanggilnya ketika ia pulang.
Sebelum menutup matanya, Arsyfa kembali beranjak dari tidurnya. Apakah ia sudah mengunci pintu masuk rumah?
Untuk memastikannya, ia berjalan ke arah pintu itu. Dan ternyata pintu terkunci. Tadi, ia sudah melihatnya. Lalu kenapa sekarang ia melihatnya lagi? Oh ya, dirinya 'kan pelupa. Langkahnya membawanya ke dapur. Menuangkan air ke dalam gelas, lalu meneguknya hingga habis. Arsyfa berjalan lagi ke arah pintu masuk rumahnya. Memastikan lagi kalau pintu sudah terkunci.
"Jelas-jelas pintu terkunci, Arsyfa! Ini ketiga kalinya lo memastikannya," rutuk batin Arsyfa.
Kenapa ia jadi sangat pelupa seperti ini? Apa ia mengidap Alzheimer di usia yang sangat muda? Tidak, ia harus membuang jauh-jauh pemikiran negatifnya. Ia baik-baik saja. Pasti baik-baik saja. Tapi, ini bukan pertama kalinya. Ia sering jadi pelupa seperti ini.
Seperti saat itu, sampai empat kali ia mondar-mandir dari kamar ke dapur untuk memastikan kalau ia sudah mematikan kompor gas. Dan tentu saja ia mendapati api di kompor gas sudah mati.
Sekarang, rasa kantuk yang tadinya menyerang Arsyfa menghilang digantikan rasa sedih. Di atas meja belajar di kamarnya Arsyfa melipat kedua tangannya lalu menjadikan itu sebagai tumpuan wajahnya. Ia menangis.
Selain ceroboh, ia pelupa. Ia takut ia akan melupakan ayahnya, mendiang ibunya, teman-temannya, dan juga Athif. Ia juga sangat takut pelajaran yang ada di otaknya ia lupakan. Ia takut semuanya terlupakan. Ia sangat takut. Sekarang ia hanya bisa berdoa agar pemikiran negatifnya tidak benar-benar terjadi. Ia tidak siap.
Pelupa dan ceroboh, itulah dirinya. Seharusnya jauh-jauh hari ia sadar diri. Kalau dirinya tidak pantas untuk Athif. Karena itu, ia merusak mimpi Athif. Dan juga, Athif sudah sangat membencinya. Walau sedikit terlambat, Arsyfa memutuskan untuk berhenti. Berhenti dari apa pun yang berhubungan dengan Athif.
Arsyfa mengambil selembar kertas dan pulpen. Lalu menuangkan perasaannya pada selembar kertas itu sekaligus menjelaskan kesalahpahaman antara dirinya dan Athif.
Setidaknya, sebelum ia benar-benar berhenti, ia harus memberitahu perasaannya pada Athif. Bahwa ia sungguh mencintai Athif bukan hanya sekadar tanggung jawab.
***
"Kenapa lo pagi-pagi suruh gue ke rumah lo sih?" Billy langsung melempari pertanyaan pada Arsyfa ketika ia baru saja keluar dari mobilnya.
Arsyfa yang berdiri di ujung teras pun balik bertanya, "Lo ada kelas 'kan bentar lagi?" Billy mengangguk.
"Athif juga, 'kan?" Billy mengangguk lagi.
"Tolong kasih ini buat Athif," Arsyfa menyodorkan sebuah amplop pada Billy yang berisi surat yang ia tulis tadi malam.
"Apaan ini?" Billy kepo sembari mengambil alih surat itu dari tangan Arsyfa.
"Surat, buat Athif," jujur Arsyfa.
"Yaelah lo, kuno banget. Sekarang udah gak jaman surat-suratan kali. Sekarang udah canggih tau, gak?"
"Iya, gue tau kok."
"Terus, ngapain lo kasih yang beginian?" Billy mengangkat ke udara amplop yang ia pegang.
"Kepo banget sih lo? Tinggal kasih aja apa susah sih?" keluh Arsyfa karena Billy yang begitu kepo.
"Iya iya. Gue kasih kok," Billy menjeda. "Tapi, ada imbalannya."
Arsyfa kesal dengan Billy. Ia tidak berpikir akan selama ini hanya untuk menitipkan surat pada Billy. "Imbalannya apaan?"
"Bantuin gue buat dekat sama Rika."
"Oke, siap."
"Yasudah, gue pamit dulu," Billy pun berlalu bersama kendaraan roda empatnya membelah jalanan.
Sebelum memasuki rumahnya, Arsyfa berharap agar Athif membaca surat darinya itu. Dan juga, besar harapannya untuk melihat Dedi sekarang. Karena sampai sekarang ayahnya itu juga belum pulang.
***
Athif yang baru masuk ke kelas langsung dihadang oleh teman tengilnya itu. Siapa lagi kalau bukan Billy. Jika temannya sudah begitu pasti ada sesuatu yang terjadi.
Athif bersedekap dada. Lalu menatap Billy datar sebelum memberi pertanyaan pada si penghadang. "Lo mau ngomong apa?"
Billy langsung menyodorkan amplop surat yang diberikan oleh Arsyfa, "Pagi Abang ganteng. Ini ada surat dari pacar sesaat lo itu yang udah jadi mantan."
"Cih," tatapan Athif berubah sinis. Lalu melangkah ke arah kursinya tanpa mengambil surat dari Billy.
Sudah Billy duga itu akan terjadi. Billy ikut duduk di kursi yang berdekatan dengan Athif.
"Lo yakin gak mau baca nih surat? Perlu gue baca keras-keras?" tanya Billy.
"Terserah lo. Bukan urusan gue," ucap Athif ketus.
"Gak jadi deh. Mending gue simpan aja. Suatu hari pasti akan berguna," balas Billy. Ia hanya bercanda dengan mengatakan akan membaca surat itu dengan keras. Karena ia tahu, tidak pantas ia berlaku seperti itu. Barangkali ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Arsyfa untuk Athif. Dan ia, tidak perlu mengetahuinya. Itukan urusan orang.
Makanya, karena sudah mendapat amanah dari Arsyfa, Billy diam-diam memasukkan amplop surat itu ke dalam tasnya Athif.
***
Tinggalkan jejak!!!
22 Juni 2019
By Warda.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Me (END)✔️
Teen FictionArsyfa berusaha bertanggung jawab atas kecerobohannya. Namun, pada akhirnya kecerobohan yang ia coba sembunyikan terkuak hingga melebarkan jarak antara dirinya dan Athif, orang yang dicintainya. Ia ingin memangkas jarak itu. Tapi, jika bentangan jar...