Aku menyaksikan daun gugur di bulan Januari, bersamaan dengan runtuhnya harapan untuk satu atap. Tergeletak, terseyok, lalu terhempas lepas. Bila ku pegang, akan semakin mematahkan segala sisinya. Ternyata cinta serapuh ini, diberi luka sedikit saja seakan runtuh satu dunia.
Mengapa harus dia yang menjadi peran antagonis dalam kisah ini? Bolehkah aku meminta bukan dia yang memerankan sebagai yang menyakitiku? Luka ini menyaksikan dramanya sendiri. Menari-nari bak seseorang yang dalam kebahagiaan tanpa melihat objek apapun. Meletakkan dengan rapih setiap kenangan lalu memutarnya satu-persatu. Tangis ini semakin resah dan akhirnya tak tahan keluar dari persembunyian dimataku.
Andai dia bukan dia, pasti sekarang aku masih mencintainya dengan penuh. Masih menggenggam erat jemarinya yang kekar namun lembut. Masih bersandar dibahunya yang menjadi favoritku. Masih memberinya nasehat setiap dia melakukan kesalahan. Masih mengingatkan makanan dan minuman apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk ia konsumsi. Masih suka menikmati waktu sampai lupa akan ujung hari. Masih suka mentertawakan diri kita sendiri bersama-sama. Mungkin, akan menjadi "masih" lainnya.
Andai dia bukan dia, aku tak harus merasakan ingatan sesakit ini. Dari awal aku menaruh harapan untuk menumbuhkan cinta bersamanya tak pernah terbayangkan tentang ini ; dicintai lalu disakiti. Usaha-usaha yang diupayakan hilang begitu saja. Bisakah aku mengubah alur kisah ini? Yang hanya tentang mencintai-dicintai, bukan mencintai-meninggalkan. Bisakah? Ku mohon jawab. Menumbuhkan luka ini membuat oksigenku semakin sesak terdesak. Aku benci menjadi lemah, tapi tak ada kuasa untuk menjadi kuat.
Bagaimana ceritanya hari ini? Apakah ia masih mengeluhkan jalanan rusak setiap kali ia lewat untuk menuju suatu tempat? Apakah ia masih suka makanan rumahan yang harus disajikan selagi masih hangat? Apakah senyumnya masih merekah ketika melihat pelangi usai hujan? Bayangkan, aku masih bertahan dengan semua kilas balik itu. Selalu menyukai gambaran wajahnya yang tegas nan santun. Menunggu kepulangannya menjadi hal yang menyenangkan walau sebenarnya lelah telah memperingatiku untuk pindah.
Ijinkan aku melupa lebih lama. Sedikit saja. Biarkan aku menikmati bayangnya dalam gelapku sendiri. Tak usah khawatir aku akan menganggu tidur malamnya. Biarkan aku mengumpulkan lagi jejak langkah ketika masih bersamanya. Tak usah melihatku lagi, itu tak penting. Biarkan sukma ini masih merasakan syahdu kasih sayangnya. Maaf aku tak bisa menghentikan air mata yang mengalir dari pelupuk mataku. Maaf, aku masih lancang mencintainya diam-diam.
Ijinkan aku melupa lebih lama. Mengemas segala kenangan lalu pergi baik-baik. Menaruhnya pada setiap sudut kotak yang akan aku bawa bersama rasa yang masih ingin menetap. Salahku, memaksakan kita tetap ada. Padahal saat itu, kita sudah menuju patah. Salahku, memaksakan kita baik-baik saja. Padahal keadaan saat itu, sangat tidak baik-baik saja. Salahku, yang tak tahu salahnya telah menyalahi janji kita.
Tenang saja, hari ini aku akan mencoba bangkit. Aku telah ditemukan oleh seseorang yang ku yakin tak akan sepertinya. Seseorang yang menjagaku bukan hanya dengan kata-katanya, tetapi do'a dalam sujudnya. Seseorang yang dia do'akan akan membahagiakanku ; kini telah hadir. Terimakasih atas oleh-oleh luka di masa lalu. Berat rasa ketika sekali lagi aku mengingat bahwa dia yang menghujam pedih dalam sukma tanpa tahu caranya sembuh. Semoga dengan seseorang yang menemukanku kini, tidak memandang aku hanya dari raga tetapi jiwa dan pemikiranku. Maaf aku masih belum bisa menyampaikan do'a bahagia untuknya, hatiku masih belum ikhlas.
-andai dia bukan dia, sudah ku pastikan mendengar lelahnya adalah hal yang masih paling aku sukai-

KAMU SEDANG MEMBACA
Prosa Rasa
De Todosekumpulan rasa yang dirangkum dalam kalimat-kalimat syahdu. nikmati saja, tak usah banyak bicara. biar kata ini mewakili rasamu