Books 18

595 95 34
                                    

YANG YIJEONG, yang kembali dengan tangan kosong dari misinya, mendapati Hoseok dan kakak lelaki dominan nya sedang bermain piquet bersama di ruang tamu. Sekali ini konsentrasi Hoseok tidak sepenuhnya tertuju kepada kartu-kartunya. Begitu Yijeong digiring ke dalam ruang tamu, Hoseok langsung membuang kartu-kartunya dan menoleh penuh semangat ke arah sang tamu.

“Anda m-mendapatkannya?”

“Permisi, kau hendak main atau tidak?” kata Yoongi, yang lebih fokus daripada saudaranya.

“T-tentu saja tidak. Yijeong, apakah dia menyerahkan benda itu kepada Anda?”

Yijeong dengan cermat menunggu sampai pintu ditutup di belakang sang pelayan dan terbatuk-batuk. “Mesti saya peringatkan, Tuan—kita harus sangat berhati-hati di hadapan pelayan. Ini urusan yang perlu dirahasiakan rapat-rapat—jangan sampai tersiar ke luar.”

“Sudahlah,” kata Yoongi tak sabaran. “Aku tidak pernah punya pelayan yang tak mengetahui semua rahasiaku. Sudahkah kau dapatkan bros itu?”

“Belum,” jawab Yijeong. “Dengan penyesalan mendalam, Tuan, saya sampaikan bahwa Lord Jeon mengaku tidak tahu tentang bros itu.”

“T-tapi, aku tahu bros itu di sana!” Hoseok bersikeras. “Anda t-tidak memberitahunya bahwa perhiasan itu milik saya, b-bukan?”

“Jelas tidak, Tuan. Saya mengarang cerita lengkap sepanjang perjalanan. Saya katakan kepada Jungkook bahwa bros tersebut milik bibi buyut saya.”

Yoongi, yang semula mengocok kartu secara otomatis, meletakkan tumpukan kartu saat mendengar hal ini. “Memberitahunya bahwa benda itu milik bibi buyutmu?” ulangnya. “Celaka benar. Walaupun laki-laki itu pingsan, mana mungkin dia percaya bahwa bibi buyutmu tertatih-tatih ke dalam rumahnya pada pukul dua pagi! Tidak masuk akal. Terlebih lagi, kalaupun dia percaya, kau tidak boleh menyebarkan cerita bohong macam itu mengenai bibi buyutmu.”

“Bibi buyutku sudah meninggal,” ujar Yijeong sengit.

“Nah, berarti malah lebih parah,” kata Yoongi. “Mana mungkin pria seperti Jungkook percaya pada cerita hantu!”

“Tidak ada hubungannya dengan hantu!” timpal Yijeong, naik pitam. “Kau lain dari biasanya, Yoon. Kuberi tahu Jungkook bahwa bros itu warisan.”

“T-tapi, itu bros submissive!” kata Hoseok. “Dia t-tidak mungkin percaya pada Anda!”

“Oh, mohon maaf, Tuan, tapi penjelasan tersebut dapat dipercaya! Saya ceritakan apa adanya—mudah saja. Sayangnya, bros itu tidak disimpan oleh Lord Jeon. Coba pikirkan, Tuan—kekalutan sesaat—bros jatuh di jalan. Mungkin terjadi, Anda tahu, mungkin sekali. Saya perkirakan Anda tidak ingat sepenuhnya, tapi saya bertaruh itulah yang terjadi.”

“Aku ingat s-sepenuhnya!” kata Hoseok. “Aku tidak mabuk.”

Yijeong sangat malu gara-gara bentakan ini sampai-sampai dia hanya sanggup terdiam dengan sungkan. Yoongi-lah yang lantas memprotes. “Wah, jangan begitu, Hosiki, jangan begitu! Siapa yang mengatakan bahwa kau mabuk? Yijeong tidak bermaksud demikian, benar bukan, Jeong?”

“Aku t-tahu, tapi kau mabuk, kalian b-berdua mabuk!” kata Hoseok.

“Lupakan soal itu,” Yoongi buru-buru menimpali. “Bukan itu intinya. Jeong mungkin benar, meskipun aku tidak mengatakan bahwa dia pasti benar. Tapi jika kau menjatuhkan bros di jalan, tak ada yang dapat kita lakukan. Kita tidak bisa mengorek selokan-selokan di Half-Moon Street.”

Hoseok mencengkeram pergelangan tangan kakaknya. “Y-Yoon,” katanya sepenuh hati, “aku betul menjatuhkannya di rumah Jungkook. Dia merobek tenda korsaseku, sedangkan b-bros itu disematkan ke sana. Bros itu memiliki p-penjepit yang sangat kaku dan tidak mungkin lepas sendiri.”

The Convenient Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang